BAB II
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sosiologi terdiri atas beberapa bagian, diantaranya
sosiologi pedesaan. Sosiologi pedesaan merupakan salah satu cabang sosiologi yang
mempelajari dan menganalisis budaya masyarakat pedesaan secara sosiologis, yang
meliputi organisasi dan stuktur, nilai-nilai dan proses-proses sosial, dan juga
termasuk perubahan-perubahan sosial. Objek kajian dari studi sosiologi pedesaan
adalah masyarakat desa dengan pola-pola kebudayaan yang ada di desa tersebut.
Desa merupakan satuan administratif yang diatur oleh pemerintah, selain itu
desa diartikan sebagai suatu sistem yang merupakan suatu kesatuan yang utuh,
terbentuk secara berkesinambungan dalam kurun waktu yang relatif lama.
Masyarakat desa adalah masyarakat yang kehidupannya
masih banyak dikuasai oleh adat istiadat lama. Adat istiadat adalah sesuatu
aturan yang sudah mantap dan mencakup segala konsepsi sistem budaya yang
mengatur tindakan atau perbuatan manusia dalam kehidupan sosial hidup bersama,
bekerja sama dan berhubungan erat secara tahan lama, dengan sifat-sifat yang
hampir seragam.
Seorang sosiolog terkemuka yaitu Pitirim A. Sorokin
(J.D. Douglas, 1981:83) menyatakan bahwa sistem berlapis-lapis merupakan ciri
yang tetap dan umum dalam setiap masyarakat yang hidup teratur, seperti yang
terjadi pada desa. Hal tersebut menyebabkan stratifikasi sosial yang
melekat pada desa. Stratifikasi sosial dapat dipengaruhi oleh kekuasaan
dan peran yang terdapat dalam kedudukan sosial seseorang. Faktor-faktor yang
menjadi ukuran atau kriteria sebagai dasar pembentukan dasar pelapisan sosial
yaitu, ukuran kekayaan, ukuran kekuasaan dan wewenang, ukuran kehormatan, dan
ukuran ilmu pengetahuan. Kedudukan sosial merupakan tempat seseorang secara
umum dalam masyarakatnya yang berhubungan dengan orang lain, dalam arti
lingkungan pergaulannya, prestisenya, dan hak-hak serta kewajiban-kewajibannya.
Kampung
Cireundeu mempunyai filosofi kehidupan yang sangat unik, dimana nuansa hidup
yang santun dalam nafas setiap insan warga Kampung, mencintai lingkungan,
budaya sunda dan kesenian khas masih terjaga dan terpelihara,sebagaian
masyarakatnya masih mempertahankan adat leluhurnya, makanan pokonya nasi yang
terbuat dari singkong atau di kenal dengan nama “Rasi” atau beras singkong,
bahkan divervikasi produk makanan yang berbahan dasar singkong tersedia di
kampung ini.
Kampung Cireundeu adalah
salah satu model kampung yang sebagian besar penduduknya sudah meninggalkan
ketergantungannya akan beras sebagai makanan pokok sehari hari, singkong adalah
pilihannya yang telah terbukti menyelamatkan warganya dari kerisis pangan yang
terjadi. samapai saat ini belum pernah terjadi kesulitan dan kekurangan
kebutuhan akan makanan pokok. singkong di kampung ciereundeu dapat di buat
menjadi berbagai macam makanan, hal ini dapat dijadikan sebagai contoh yang
dapat di implementasikan di daerah lain sebagai bukti nyata program ketahanan
pangan.
Potensi kegiatan pengolahan singkong yang dilakukan
oleh warga kampung cireundeu dapat memberikan manfaat,salah satunya dapat
meningkatkan perekonomian warga kampung yang secara signifikan yang
dibandingkan dengan hanya menjual singkong dalam kondisi bahan mentah.
Pola makanan pokok kampung
cireundeu mudah-mudahan dapat dijadikan contoh dan disosialisasikan dikhalayak
umum di seluruh wilayah Indonesia.sehingga harapan dari program ketahanan
pangan dapat terwujud,agar kita dapat terbebas dari krisis pangan yang slalu menghantui
masyarakat kecil khususnya,dengan sendirinya beban pemerintah akan subsidi
pemenuhan beras akan berkurang.
Karena keunikan dari kampung
Cireundeu ini, banyak yang melakukan observasi, yang dilakukan oleh lembaga
perguruan tinggi maupun LSM., baik dari aspek budaya maupun dari aspek
ketahanan pangannya.
Sebagaimana dari uraian
diatas, maka penyusun mengambil judul mengenai “Efektifitas Ketahanan Pangan Terhadap Kesejahteraan Masyarakat Di
Kampung Cireundeu”
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat
disusun rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana
sejarah berdirinya masyarakat adat Kampung Cireundeu?
2. Bagaiman
proses sosial (interaksi) serta kelompok-kelompok sosial yang ada pada
masyarakat adat kampung Cireundeu?
3. Bagaimana
norma, adat istiadat dan budaya yang ada pada masyarakat adat Kampung
Cireundeu?
4. Apa
saja lembaga-lembaga sosial serta organisasi yang ada di masyarakat adat
Kampung Cireundeu?
5. Bagaimana
staratifikasi yang ada pada masyarakat adat kampung Cireundeu?
6. Bagaimana
system kekuasaan, kewenangan dan kepemimpinan pada masyarakat adat Kampung
Cireundeu?
7. Apa
saja masalah-masalah sosial yang ada pada masyarakat adat Kampung Cireundeu?
8. Bagaimana
perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat adat Kampung Cireundeu?
C. MAKSUD DAN TUJUAN
Adapun maksud dan tujuan dari penulisan ini adalah
sebagai berikut:
1. Untuk
mengetahui sejarah berdirinya masyarakat adat Kampung Cireundeu.
2. Untuk
mengetahui proses sosial (interaksi) serta kelompok-kelompok sosial yang ada
pada masyarakat adat kampung Cireundeu.
3. Untuk
mengetahui norma, adat istiadat dan budaya yang ada pada masyarakat adat
Kampung Cireundeu.
4. Untuk
mengetahui lembaga-lembaga sosial serta organisasi yang ada di masyarakat adat
Kampung Cireundeu.
5. Untuk
mengetahui staratifikasi yang ada pada masyarakat adat kampung Cireundeu.
6. Untuk
mengetahui system kekuasaan, kewenangan dan kepemimpinan pada masyarakat adat
Kampung Cireundeu.
7. Untuk
mengetahui masalah-masalah sosial yang ada pada masyarakat adat Kampung
Cireundeu.
8. Untuk
mengetahui perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat adat Kampung
Cireundeu.
D. Kegunaan
Penelitian
1.
Memperoleh gambaran dan menambah
khasanah pengetahuan tentang sejarah,proses sosial, stratifikasi sosial, norma, adat dan
istiadat, sistem kekuasaan, kewenangan dan kepemimpinan, masalah-masalah sosial
dan perubahan sosial yang terjadi di Kampung
Cireundeu, kelurahan Leuwi Gajah, kota Cimahi Selatan.
2.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat
berguna bagi kalangan akademis dan umumnya bagi masyarakat luas.
3.
Dapat membantu pemerintah serta penyuluh
untuk memperbaiki pembangunan dan pemberdayaan masyarakat adat kampung
Cireundeu.
E. Kerangka
Pemikiran
Masyarakat desa
adalah masyarakat yang kehidupannya masih banyak dikuasai oleh adat istiadat
lama. Adat istiadat adalah sesuatu aturan yang sudah mantap dan mencakup segala
konsepsi sistem budaya yang mengatur tindakan atau perbuatan manusia dalam
kehidupan sosial hidup bersama, bekerja sama dan berhubungan erat secara tahan
lama, dengan sifat-sifat yang hampir seragam. Secara sosiologis ini merupakan
proses sosial. Adat menjadi wujud dari proses sosial yang dibangun masyarakat
desa.
Proses sosial
adalah cara-cara berhubungan yang dilihat apabila orang-perorangan dan
kelompok-kelompok sosial saling bertemu dan menentukan sistem serta
bentu-bentuk hubungan tersebut atau apa yang akan terjadi apabila ada
perubahan-perubahan yang menyebabkan goyahnya pola-pola kehidupan yang terlah
ada. Proses sosial dapat diartikan sebagai pengaruh timbal-balik antara
pelbagai segi kehidupan bersama, misalnya pengaruh-mempengaruhi antara sosial
dengan politik, politik dengan ekonomi, ekonomi dengan hukum, dan seterusnya..
Interaksi sosial
merupakan kunci dari semua kehidupan sosial, karena tanpa interaksi sosial tak
akan mungkin ada kehidupan bersama. Bentuk umum proses sosial adalah interaksi
sosial (yang juga dapat dinamakan sebagai proses sosial) karena interaksi
sosial merupakan syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Interaksi
sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan
antara orang-orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara
orang perorangan dengan kelompok manusia. Interaksi sosial antara
kelompok-kelompok manusia terjadi anatara kelompok tersebut sebagai suatu
kesatuan dan biasanya tidak menyangkut pribadi anggota-anggotanya.
Interaksi sosial
antara kelompok-kelompok manusia terjadi pula di dalam masyarakat. Interaksi
tersebut lebih mencolok ketika terjadi benturan antara kepentingan perorangan
dengan kepentingan kelompok. Interaksi sosial hanya berlangsung antara
pihak-pihak apabila terjadi reaksi terhadap dua belah pihak. Interaksi sosial
tak akan mungkin teradi apabila manusia mengadakan hubungan yang langsung
dengan sesuatu yang sama sekali tidak berpengaruh terhadap sistem syarafnya,
sebagai akibat hubungan termaksud.
Interaksi sosial
menjelaskan proses pembentukan nilai, norma, dan adat. Proses ini tak lepas
dari pewarisan kelompok manusia atau masyarakat yang menjadi pendahulunya.
Berlangsungnya suatu proses interaksi didasarkan pada pelbagai faktor (Soerjono
Soekanto, 1987:37):
1.
Imitasi
Salah satu segi
positifnya adalah bahwa imitasi dapat mendorong seseorang untuk mematuhi
kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku
2.
Sugesti
Faktor sugesti
berlangsung apabila seseorang memberi suatu pandangan atau suatu sikap yang
berasal dari dirinya yang kemudian diterima oleh pihak lain.
3.
Identifikasi
Identifikasi
sebenarnya merupakan kecenderungan atau keinginan dalam diri seseorang untuk
menjadi sama dengan pihak lain. Identifikasi sifatnya lebih mendalam daripada
imitasi, karena kepribadian seseorang dapat terbentuk atas dasar proses ini.
4.
Proses simpati
Sebenarnya
merupakan suatu proses dimana seseorang merasa tertarik pada pihak lain. Di
dalam proses ini perasaan memegang peranan yang sangat penting, walaupun
dorongan utama pada simpati adalah keinginan untuk memahami pihak lain dan
untuk bekerja sama dengannya.
Bentuk sistem
kekerabatan masyarakat desa merupakan refleksi dari bentuk-bentuk interaksi
sosial dapat berupa kerja sama (cooperation),
persaingan (competition), dan bahkan
dapat juga berbentuk pertentangan atau pertikaian (conflict). Pertikaian mungkin akan mendapatkan suatu penyelesaian,
namun penyelesaian tersebut hanya akan dapat diterima untuk sementara waktu,
yang dinamakan akomodasi. Ini berarti kedua belah pihak belum tentu puas
sepenunya. Suatu keadaan dapat dianggap sebagai bentuk keempat dari interaksi
sosial. Keempat bentuk pokok dari interaksi sosial tersebut tidak perlu
merupakan suatu kontinuitas, di dalam arti bahwa interaksi itu dimulai dengan
kerja sama yang kemudian menjadi persaingan serta memuncak menjadi pertikaian
untuk akhirnya sampai pada akomodasi.
Gillin dan
Gillin (Robert K. Merton, 1964:71)mengadakan penggolongan yang lebih luas lagi.
Menurut mereka, ada dua macam proses sosial yang timbul sebagai akibat adanya
interaksi sosial :
1.
Proses-proses yang Asosiatif
a.
Kerja Sama (Cooperation)
Suatu
usaha bersama antara orang perorangan atau kelompok manusia untuk mencapai
suatu atau beberapa tujuan bersama. Bentuk kerja sama tersebut berkembang apabila
orang dapat digerakan untuk mencapai suatu tujuan bersama dan harus ada
kesadaran bahwa tujuan tersebut di kemudian hari mempunyai manfaat bagi semua.
Juga harus ada iklim yang menyenangkan dalam pembagian kerja serta balas jasa
yang akan diterima. Dalam perkembangan selanjutnya, keahlian-keahlian tertentu
diperlukan bagi mereka yang bekerja sama supaya rencana kerja samanya dapat
terlaksana dengan baik.
Kerja
sama timbul karena orientasi orang-perorangan terhadap kelompoknya (yaitu in-group-nya) dan kelompok lainya (yang
merupakan out-group-nya). Kerja sama akan bertambah kuat jika ada hal-hal yang
menyinggung anggota/perorangan lainnya.
Fungsi
Kerjasama digambarkan oleh Charles H.Cooley ”kerjasama timbul apabila orang
menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama dan pada
saat yang bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian terhadap diri
sendiri untuk memenuhi kepentingan-kepentingan tersebut; kesadaran akan adanya
kepentingan-kepentingan yang sama dan adanya organisasi merupakan fakta-fakta
penting dalam kerjasama yang berguna”.
Dalam
teori-teori sosiologi dapat dijumpai beberapa bentuk kerjasama yang biasa
diberi nama kerja sama (cooperation).
Kerjasama tersebut lebih lanjut dibedakan lagi dengan :
-
Kerjasama Spontan (Spontaneous Cooperation) : Kerjasama yang sertamerta.
-
Kerjasama Langsung (Directed Cooperation) : Kerjasama yang merupakan hasil perintah
atasan atau penguasa.
-
Kerjasama Kontrak (Contractual Cooperation) : Kerjasama atas dasar tertentu.
-
Kerjasama Tradisional (Traditional Cooperation) : Kerjasama
sebagai bagian atau unsur dari sistem sosial.
b.
Akomodasi (Accomodation)
Istilah
Akomodasi dipergunakan dalam dua arti : menujukk pada suatu keadaan dan yntuk
menujuk pada suatu proses. Akomodasi menunjuk pada keadaan, adanya suatu
keseimbangan dalam interaksi antara orang-perorangan atau kelompok-kelompok
manusia dalam kaitannya dengan norma-norma sosial dan nilai-nilai sosial yang
berlaku dalam masyarakat. Sebagai suatu proses akomodasi menunjuk pada
usaha-usaha manusia untuk meredakan suatu pertentangan yaitu usaha-usaha
manusia untuk mencapai kestabilan.
Menurut Gillin dan Gillin, akomodasi adalah suatu perngertian yang digunakan oleh para sosiolog untuk menggambarkan suatu proses dalam hubungan-hubungan sosial yang sama artinya dengan adaptasi dalam biologi. Maksudnya, sebagai suatu proses dimana orang atau kelompok manusia yang mulanya saling bertentangan, mengadakan penyesuaian diri untuk mengatasi ketegangan-ketegangan. Akomodasi merupakan suatu cara untuk menyelesaikan pertentangan tanpa menghancurkan pihak lawan sehingga lawan tidak kehilangan kepribadiannya.
Menurut Gillin dan Gillin, akomodasi adalah suatu perngertian yang digunakan oleh para sosiolog untuk menggambarkan suatu proses dalam hubungan-hubungan sosial yang sama artinya dengan adaptasi dalam biologi. Maksudnya, sebagai suatu proses dimana orang atau kelompok manusia yang mulanya saling bertentangan, mengadakan penyesuaian diri untuk mengatasi ketegangan-ketegangan. Akomodasi merupakan suatu cara untuk menyelesaikan pertentangan tanpa menghancurkan pihak lawan sehingga lawan tidak kehilangan kepribadiannya.
Tujuan
Akomodasi dapat berbeda-beda sesuai dengan situasi yang dihadapinya, yaitu :
-
Untuk mengurangi pertentangan antara
orang atau kelompok manusia sebagai akibat perbedaan paham
-
Mencegah meledaknya suatu pertentangan
untuk sementara waktu atau secara temporer
-
Memungkinkan terjadinya kerjasama antara
kelompok sosial yang hidupnya terpisah akibat faktor-faktor sosial psikologis
dan kebudayaan, seperti yang dijumpai pada masyarakat yang mengenal sistem
berkasta.
-
mengusahakan peleburan antara kelompok
sosial yang terpisah.
c.
Asimilasi (Assimilation)
Asimilasi
merupakan proses sosial dalam taraf lanjut. Ia ditandai dengan adanya
usaha-usaha mengurangi perbedaan-perbedaan yang terdapat antara
orang-perorangan atau kelompok-kelompok manusia dan juga meliputi usaha-usaha
untuk mempertinggi kesatuan tindak, sikap, dan proses-proses mental dengan
memerhatikan kepentingan dan tujuan bersama.
Proses
Asimilasi timbul bila ada, kelompok-kelompok manusia yang berbeda
kebudayaannya, orang-perorangan sebagai warga kelompok tadi saling bergaul
secara langsung dan intensif untuk waktu
yang lama sehingga kebudayaan-kebudayaan
dari kelompok-kelompok manusia tersebut masing-masing berubah dan saling
menyesuaikan diri.
2.
Proses Disosiatif
Proses
disosiatif sering disebut sebagai oppositional proccesses, yang persis halnya
dengan kerjasama, dapat ditemukan pada setiap masyarakat, walaupun bentuk dan
arahnya ditentukan oleh kebudayaan dan sistem sosial masyarakat bersangkutan.
Oposisi dapat diartikan sebagai cara berjuang melawan seseorang atau sekelompok
manusia untuk mencapai tujuan tertentu. Pola-pola oposisi tersebut
dinamakan juga sebagai perjuangan untuk tetap hidup (struggle for existence).
F.
Langkah-langkah Penelitian
1.
Metode Penelitian
Metode
yang penulis gunakan dalam penyusunan penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif yang sering
disebut metode penelitian naturalistik karena penelitiannya dilakukan pada
kondisi alamiah (natural setting) dan data yang terkumpul dianalisis lebih
bersifat kualitatif. Secara lebih lengkap Sugiyono menjelaskan :”Metode
penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat
postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang
alamiah,(sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai
instrument kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan),
analisis data bersifat induktif/kualitatif dan hasil penelitian lualitatif
lebih menekankan makna dari pada generalisasi (Hadisubroto,1988 : 221).
2.
Teknik Pengumpulan Data
Instrumen
ini tergantung dari jenis data dan dari mana data itu diperoleh. Adapun
pengumpulan data dapat melalui hasil observasi, wawancara, studi literatur
(pustaka) dan studi dokumentasi.
Peneliti
terjun ke lapangan untuk mengumpulkan data dengan menggunakan beberapa teknik
pengumpulan data, diantaranya : Observasi, Wawancara, dan Studi Pustaka.
a.
Observasi
Observasi
merupakan alat yang sangat tepat dibutuhkan dalam mengadakan penelitian.
Keuntungan yang diperoleh melalui observasi adalah adanya pengalaman yang
mendalam, dimana peneliti berhubungan secara langsung dengan subjek penelitian.
Secara intensif teknik observasi ini, digunakan untuk memperoleh data dilokasi
penelitian. Observasi ini, dilakukan pada bulan apa, tahun berapa, melalui
berbagai aktivitas. Kemudian melakukan pengamatan yang merupakan salah satu
cara penelitian ilmiah pada ilmu-ilmu sosial. Cara ini bisa hemat biaya dan
dapat dilakukan oleh seorang individu dengan menggunakan mata sebagai alat
melihat data serta menilai keadaaan lingkungan yang dilihat (Wardi Bachtiar,
1999: 78).
b.
Wawancara
Melalui
teknik wawancara data utama yang berupa ucapan, pikiran, perasaan, dan tindakan
dalam penelitian akan lebih mudah diperoleh. Dalam hal ini, S.Nasution
mengemukakan bahwa : “Dalam teknik wawancara
terkandung maksud untuk mengetahui apa yang ada dalam pikiran dan perasaan
responden.
Untuk
menghindari bias penelitian, peneliti tetap memiliki pedoman wawancara yang
disesuaikan dengan sumber data yang hendak digali. Pedoman wawancara tersebut bersifat
fleksibel, sewaktu-waktu dapat berubah sesuai dengan perkembangan data yang
terjadi dilapangan. Namun, fleksibelitas tersebut tetap mengacu pada fokus
penelitian, yaitu judul yang sedang diteliti. Terkadang antara peneliti dan
responden menyepakati waktu untuk wawancara, atau secara spontan peneliti
meminta penjelasan mengenai suatu peristiwa yang dipandang erat kaitannya dengan penelitian yang diteliti.
c.
Studi Pustaka
Studi
pustaka dipergunakan untuk mendapatkan teori-teori, konsep-konsep sebagai bahan
pembanding, penguat atau penolak terhadap temuan hasil penelitian untuk
mengambil pengetahuan (Subino Hadisubroto, 1982 : 28).
BAB II
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.
Sejarah masyarakat kampung
Cireundeu
Kampung
Cireundeu merupakan salah satu lokasi yang terletak dikelurahan Leuwigajah,
Kecamatan Cimahi Selatan Kota Cimahi, hal ini berdasarkan Undang-undang No. 1
Tahun 2001 tentang Pembentukan Kota Cimahi. Kampung Cireundeu terletak
diperbatasan kota Cimahi dengan Kabupaten Bandung Barat tepatnya dengan
Kecamatan Batujajar. Jarak dari kampung
Cireundeu ke Kelurahan Leuwigajah --/+ 3 Km dan 4 Km ke kecamatan serta 6 Km ke kota atau Pemerintah
Kota Cimahi, dengan keadaan topografi datar, bergelombang sampai berbukit.
Kampung
Cireundeu dikelilingi oleh gunung Gajah langu dan Gunung Jambul disebelah
Utara, gunung Puncak Salam di sebelah Timur, Gunung Cimenteng di sebelah
Selatan serta Pasir Panji, TPA dan Gunung Kunci disebelah Barat. Dari
ketinggian Gunung gajah langu -/+ 890 meter dpl. Selayang pandang terlihat
jelas panorama Kota Cimahi, Kota Madya Bandung dan Kabupaten Bandung yang berada
pada cekungan dan hamparan telaga.
Kampung
Cireundeu, dimana dulu lebih dikenal dengan Tempat Pembuangan Akhir
Sampah (TPAS) Leuwi Gajah, kita jangan berharap akan melihat pemandangan lahan
sawah yang menghijau atau padi yang menguning, seolah ingin mengubur
dalam-dalam peristiwa longsornya gunungan sampah tanggal 21 Februari 2005 yang
merenggut 157 nyawa, kini ditempat yang dulu gunungan sampah itu, kita
akan banyak dimanjakan dengan pemandangan kebun singkong yang terbentang luas.
Tempat ini adalah tempatnya masyarakat kita yang dinobatkan sebagai “Pahlawan
Pangan” karena masyarakat disini makanan pokoknya bukan nasi tetapi
singkong.
Kampung Cireundeu adalah sebuah bukit kecil
yang dihuni oleh 50 KK atau 800 jiwa yang memiliki tradisi berbeda. Sebagian
penduduk Cireundeu, sejak ratusan tahun silam (sejak tahun 1918), tidak pernah
menggunakan beras lagi sebagai bahan makanan pokok. Masyarakat Kampung
Cireundeu merupakan suatu komunitas adat kesundaan yang mampu memelihara,
melestarikan adat istiadat secara turun temurun dan tidak terpengaruhi oleh
budaya dari luar. Situasi kehidupan penuh kedamaian dan kerukunan “silih
asah, silih asih, silih asuh, tata, titi, duduga peryoga“. Mereka
memegang teguh pepatah Karuhun Cireundeu, yaitu: “Teu nanaon teu boga huma
ge asal boga pare. Teu nanaon teu boga pare gi asal boga beas Teu nanaon
teu boga bias ge asal bisa ngejo Teu nanaon teu bisa ngejo ge asal bisa nyatu.
Teu nanaon teu bisa nyatu ge asal bisa hirup.”
Masyarakat
Cireundeu menyebut diri mereka penganut Sunda Wiwitan, Sunda Wiwitan sendiri
mengandung arti Sunda yang paling awal dan bagi mereka agama bukan sarana
penyembahan namun sarana aplikasi dalam kehidupan, karena itu mereka memegang
teguh tradisi dan jarang sekali ditemukan situs-situs penyembahan. Pangeran Haji
Ali Madrais yang diakui sebagai nenek moyang masyarakat Cireundeu
mungkin mendapat gelar Haji bukan karena dia benar-benar pergi memenuhi rukun
Islam tetapi mendapat sebutan Haji karena dianggap sebagai pemimpin atau imam.
Aliran
kepercayaan Sunda Wiwitan masih eksis bertahan dan memiliki penganut setia di
Kampung Cireundeu. Namun dari segi keunikannya, warga kampung ini masih
mengonsumsi singkong sebagai makanan pokok dan mayoritas masih menjalankan
ajaran Pangeran Madrais dari
Cigugur, Kuningan itu. Secara fisik Cireundeu memang kampung biasa, namun
karena ketatnya menjalankan tradisi karuhun, kampung ini akhirnya dikukuhkan
secara de facto sebagai kampung adat. Kepercayaan ini dikenal juga sebagai Cara
Karuhun Urang (tradisi nenek moyang), agama Sunda Wiwitan, ajaran Madrais
atau agama Cigugur.
Mereka
percaya pada Tuhan, dan teguh menjaga kepercayaan serta menjaga jatidiri Sunda
mereka agar tidak berubah. Falsafah hidup masyarakat Cireundeu belum banyak
berubah sejak puluhan tahun lalu, dan mereka masih memegang ajaran moral
tentang bagaimana membawa diri dalam hidup ini. Ritual 1 Sura yang rutin
digelar sejak kala, merupakan salah satu simbol dari falsafah tersebut. Upacara
suraan, demikian warga Cireundeu menyebutnya, memiliki makna yang dalam. Bahwa
manusia itu harus memahami bila ia hidup berdampingan dengan mahluk hidup
lainnya. Baik dengan lingkungan, tumbuhan, hewan, angin, laut, gunung, tanah,
air, api, kayu, dan langit. “Karena itulah manusia harus mengenal dirinya
sendiri, tahu apa yang dia rasakan untuk kemudian belajar merasakan apa yang
orang lain dan mahluk hidup lain rasakan”. Selain itu masyarakat Cireundeu
menghormati leluhur mereka dengan tidak memakan nasi melainkan singkong.
Pangeran Madrais pernah berkata, jika orang Cireundeu tidak mau terkena bencana
maka pantang makan nasi. Sekarang terbukti, dimana orang lain bingung
memikirkan harga beras yang makin naik, warga sini adem ayem saja karena
singkongnya pun hasil kebun sendiri.
Kampung Cireundeu mempunyai filosofi
kehidupan yang sangat unik, dimana nuansa hidup yang santun dalam nafas setiap
insan warga kampung, mencintai lingkungan, budaya sunda dan kesenian khas masih
terjaga dan terpelihara, sebagian masyarakatnya masih mempertahankan adat
leluhurnya .
Masyarakat
adat Kampung Cireundeu menganut kepercayaan tersendiri. Penduduk kampung
Cireundeu tersebut pada mulanya menggunakan beras sebagai makanan
pokoknya. Alasan beralih menjadi singkong sebagai makanan pokok karena
pada masa penjajahan Belanda terjadi kekurangan pangan khususnya beras.
Oleh karenanya pengikut aliran kepercayaan tersebut diwajibkan berpuasa dengan
cara mengganti nasi beras dengan nasi singkong sampai waktu yang tidak
terbatas. Tujuan berpuasa adalah agar segera merdeka lahir dan bathin,
menguji keyakinan para penganut aliran kepercayaan serta agar mereka
selalu ingat pada Tuhan Yang Maha Esa.
Beralihnya
makanan pokok masyarakat adat kampung Cireundeu dari nasi beras menjadi nasi
singkong dimulai kurang lebih tahun 1918, yang dipelopori oleh Ibu Omah
Asmanah, putra Bapak Haji Ali yang kemudian diikuti oleh saudara-saudaranya di
kampung Cireundeu. Ibu Omah Asmanah mulai mengembangkan
makanan pokok non beras ini, berkat kepeloporannya tersebut Pemerintah melalui
Wedana Cimahi memberikan suatu penghargaan sebagai “ Pahlawan Pangan”, tepatnya
pada tahun 1964.
Pada
masa tugas Bupati Memed yang mempunyai perhatian besar terhadap makanan
pokok singkong, makanan pokok penduduk kampung Cireundeu tersebut sering
diikutsertakan pada pameran-pameran makanan non beras yang mewakili Kabupaten
Bandung.Salah satu tujuan diperkenalkannya berbagai jenis makanan yang terbuat
dari singkong dan proses pembuatan nasi singkong adalah agar masyarakat pada
umumnya tidak tergantung pada beras sebagai makanan pokok.
Selain
tersebut diatas kearifan budaya lokal masih sangat kental yang selalu
diterapkan dilingkungan masyarakat adat kampung Cireundeu. Kepedulian dan
kecintaannya terhadap alam dan lingkungan sekitar menjadi bagian dari kehidupan
warga, sebagaimana petuah leluhurnya dalam rangka menjaga dan melestarikan alam
dan lingkungan dalam bahasa sunda sebagai berikut : “ Gunung Kaian, Gawir
Awian, Cinyusu Rumateun, Sampalan Kebonan, Pasir Talunan, Dataran Sawahan,
Lebak Caian, Legok Balongan, Situ Pulasaraeun, Lembur Uruseun, Walungan
Rawateun, jeung Basisir Jagaeun “.
Petuah
leluhurnya dalam rangka menjaga dan melestarikan alam dan hutan dalam bahasa
sunda sebagai berikut : “Saha anu wani ngarempak jagat Pasundan leuweung
kahiyangan isuk jaganing pageto pati kudu wani disanghareupan Nu wani ngaguna sika leuweung saliara karamat
tutupan hirup cadu mawa hurip, kaluhur ulah sirungan ka handap ulah akaran..Nu
nisca kalakuan remen nigas pucuk linduh dinatangkal hirup teu maslahat hamo
lana dipungkas nemahing ajal. Cahaya isun meting kawani titis galur siliwangi.
Ya isun tajimalela nu rek ngajaga wana nepikeun ka pejah nyawa”. ( Kata-kata
ini milik paguyuban silaturahmi warga kampung Cireundeu, dilindungi
undang-undang RI Nomor 12 tahun 1997 bab VI Ketentuan Pidana Pasal 44
ayat 1 dan 2).
B. Proses Sosial ( Interaksi Sosial ) dan
kelompok-kelompok sosial pada masyarakat adat kampung Cireundeu.
a.
Proses Sosial
Proses sosial adalah
cara-cara berhubungan yang dilihat apabila orang-perorangan dan
kelompok-kelompok sosial saling bertemu dan menentukan sistem serta bentuk-bentuk
hubungan tersebut atau apa yang akan terjadi apabila ada perubahan-perubahan
yang menyebabkan goyahnya pola-pola kehidupan yang telah ada. Proses sosial
dapat diartikan sebagai pengaruh timbal-balik antara berbagai segi kehidupan
bersama, misalnya pengaruh-mempengaruhi antara sosial dengan politik, politik
dengan ekonomi, ekonomi dengan hukum, dst.
Bentuk umum proses sosial
adalah interaksi sosial(yang juga dapat dinamakan sebagai proses sosial) karena
interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas sosial.
Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang
menyangkut hubungan antara orang-orang perorangan, antara kelompok-kelompok
manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia.[1] Interaksi sosial antara
kelompok-kelompok manusia terjadi antara kelompok tersebut sebagai suatu
kesatuan dan biasanya tidak menyangkut pribadi anggota-anggotanya.
Interaksi sosial
merupakan kunci dari semua kehidupan sosial, karena tanpa interkasi sosial tak
akan mungkin ada kehidupan bersama. Demikian pula yang terjadi pada masyarakat
kampung Cireundeu dalam menciptakan nuansa hidup yang santun, mencintai
lingkungan, dan mencintai serta memelihara kesenian dan budaya Sunda.
Berdasarkan
hasil penelitian, Masyarakat Kampung Adat Cireundeu
memiliki keadaan sosial yang terbuka dengan masyarakat di luar kampung. Sehingga interaksi
social yang terjadi di Kampung Cireundeu berlangsung dengan sangat terbuka.
Dapat dikatakan mereka merupakan masyarakat kampung adat yang fleksibel.
Berbeda dengan Interaksi sosial di kampung-kampung adat lainnya yang notabene
sangat tertutup dan dengan keras menolak masuknya teknologi modern ke kampung mereka, misalnya saja interaksi social pada masyarakat
Kampung Dukuh, Kampung Naga, Kampung Pulo, dan sebagainya.
Lain
halnya dengan masyarakat kampung Cireundeu, meskipun mereka dinobatkan sebagai
salah satu kampung adat yang ada di Jawa Barat, tetapi mereka tidak menutup
diri dari perkembangan teknologi yang sangat pesat sekarang ini. Dalam
batasan-batasan tertentu mereka secara
terbuka menerima teknologi di tengah-tengah kehidupannya, tanpa melupakan adat
para leluhurnya. Bagi mereka menjaga apa yang telah diwariskan oleh para
leluhurnya, bukan berarti tidak boleh bergaul dengan yang lainnya. Apalagi
sampai menutup diri dari perkembangan Zaman.
Salah
satu faktor utama yang menyebabkan adanya sikap keterbukaan tersebut yaitu,
letak kampung Cireundeu itu sendiri yang tidak jauh dari Kota tepat nya di perbatasan kota cimahi. Sehingga arus modernisasi dari kota dapat dengan mudah
masuk ke kampung mereka. Adapun bukti dari sikap keterbukaan mereka terhadap
kemajuan teknologi dapat terlihat dalam beberapa fakta yang kami temukan di
lapangan sebagai berikut:
1. Bentuk bangunan rumah yang permanen dengan bentuk dan ukuran
yang tidak sama. Sehingga memberikan kesan pertama terhadap pengunjung bahwa
suasana Kampung Cireundeu tidak seperti kampung adat lainnya, melainkan seperti
perkampungan biasa.
2.
Cara berpakaiannya
rapi dan modis.
3.
Alat-alat rumah
tangga yang digunakan sudah modern, seperti kompor gas, dispenser, kulkas, dan
lain-lain.
4.
Alat-alat komunikasi
dan telekomunikasi yang digunakan berupa Televisi(TV), Handphone(HP), Radio,
dan lain-lain.
5.
Kepandaian
masyarakat Cireundeu dalam mengolah singkong, mereka peroleh dari keterbukaan
dan keantusiasan mereka dalam menerima dan mengikuti pelatihan-pelatihan yang
diadakan oleh mahasiswa-mahasiswa yang sedang melakukan penelitian, dan
lain-lain. Sehigga Masyarakat Kampung Cireundeu dapat
memanfaatkan singkong mulai dari akarnya hingga daunnya, seperti akarnya dapat
diolah menjadi rasi (beras singkong), ranggening, opak, kecimpring, peyeum atau
tape, dan aneka kue berbahan dasar singkong (seperti kue keju, kue lidah
kucing, egg rolls, dan sebagainya). Batangnya dapat dimanfaatkan menjadi bibit,
daunya dapat di jadikan lalapan atau disayur juga dapat dijadikan makanan
ternak. Terakhir kulitnya dapat dibuat menjadi makanan olahan, biasanya
dijadikan sayur lodeh atau dendeng kulit singkong. Selain untuk dikonsumsi sendiri
hasilnya juga dapat dijual pada wisatawan sebagai buah tangan yang memiliki
nilai jual yang tinggi.
6.
Alat-alat yang digunakan dalam proses
pengolahan singkong sudah menggunakan mesin yang canggih, terutama alat yang
digunakan dalam pembuatan Rasi (Beras Singkong).
7.
Kemasan dan label/merk olahan-olahan
tersebut sudah ditulis dengan menggunakan computer.
8.
Pendidikan rata-rata masyarakat
Cireundeu adalah SMP dan sebagian ada juga yang Sarjana.
9.
Para anak mudanya sudah mengenal
internet.
10. Pernikahan bisa dilakukan dengan warga daerah
manapun. Tidak harus selalu dilakukan dengan warga kampung setempat.
Pemaparan diatas, merupakan
bukti-bukti keterbukaan interaksi social masyarakat cireundeu, khususnya interaksi
social yang terjadi antara masyarakat Cireundeu dengan masyarakat luar.
Adapun Interaksi social yang terjadi
antar warga masyarakat Cireundeu berlangsung secara harmonis dengan penataan
wilayah yang sangat nyaman, aman dan damai. Mereka saling memperhatikan satu
sama lain khususnya dalam masalah kesejahteraan. Sehingga masyarakat Cireundeu
tidak pernah ada yang mengalami kelaparan. Disamping mereka memiliki
solidaritas yang tinggi terhadap sesama, mereka juga memiliki lahan garapan
masing-masing yang ditanami singkong sebagai makanan pokok mereka. Pilihan
terhadap singkong bukan karena mereka tidak bisa menanam padi atau membeli
beras, tetapi mereka ingin meneruskan kearifan lokal yang diwariskan secara
turun-temurun dari nenek moyang mereka.Keteguhan masyarakat Cireundeu untuk
mempertahankan kearifan lokal itu mendapat sorotan dari Badan Ketahanan Pangan
(BKP) Kementerian Pertanian. "Masyarakat di Kampung Cirendeu
bisa menjadi bukti bahwa tanpa beras masyarakat masih bisa bertahan
hidup," ujar Kepala Pusat Konsumsi dan Keamanan Pangan BKP Mulyono
Machmur. Alhasil, dari keteguhan mereka
dalam mempertahankan kearifan local tersebut ketika sebagian besar masyarakat
Tanah Air kelimpungan akibat kenaikan harga beras, masyarakat Cirendeu justru
tenang-tenang saja. Harga beras yang melambung tinggi memengaruhi kehidupan
mereka yang dalam kesehariannya terbiasa mengonsumsi singkong sebagai bahan
makanan pokok.
b. Kelompok-Kelompok Sosial
Seperti yang
kita ketahui, Manusia pada umumnya dilahirkan
seorang diri, akan tetapi dia adalah makhluk yang telah mempunyai naluri untuk
hidup dengan manusia lain. Sejak dilahirkan manusia sudah mempunyai dua hasrat
atau keinginan pokok yaitu:[2]
1.
keinginan
untuk menjadi satu dengan manusia lain disekelilingnya (yaitu masyarakat)
2.
keinginan
untuk menjadi satu dengan suasana alam sekelilingnya.
untuk
dapat menghadapi dan menyesuaikan diri dengan kedua lingkungan tersebut di
atas, manusia menggunakan pikiran, perasaan dan kehendaknya. Pada akhirnya,
terbentuklah kelompok-kelompok social atau social-group
di dalam kehidupan manusia ini. Kelompok-kelompok social tersebut merupakan himpunan
atau kesatuan-kesatuan manusia yang hidup bersama. Hubungan tersebut antara
lain menyakut kaitan timbal-balik yang mempengaruhi dan suatu kesadaran untuk
saling tolong menolong.
Kelompok
sosial mempunyai beberapa syarat antara lain:[3]
a. Setiap anggota kelompok harus sadar bahwa dia
merupakan sebagian dari kelompok yang
bersangkutan.
b. Ada hubungan timbal-balik antara anggota yang
satu dengan anggota yang lainnya.
c. Ada suatu faktor yang dimiliki bersama oleh
anggota kelompok itu, sehingga hubungan antara mereka bertambah erat. faktor
tadi dapat merupakan nasib, kepentingan yang sama, tujuan yang sama, ideology
politik yang sama dan lain-lain. Tentunya factor mempunyai musuh bersam
misalnya, dapat pula menjadi faltor pengikat atau pemersatu.
d. Berstruktur, berkaidah dan mempunyai pola
perilaku.
e. Bersistem dan berproses.
Sepertihalnya manusia yang lainnya,
masyarakat Cireundeu menggunakan pikiran, perasaan, dan kehendaknya untuk
saling mempengaruhi dan saling tolong-menolong. Dalam kehidupan socialnya
Masyarakat kampung Cireundeu yang mayoritas penduduknya bermata
pencaharian bertani singkong dan umbi-umbian, mereka membentuk
kelompok-kelompok social berupa Kelompok Ternak dan Kelompok Tani yang memenuhi
beberapa persyaratan kelompok social seperti yang telah disebutkan di atas.
Supaya lebih jelas, alangkah lebih
baiknya jika kita mengenali kelompok-kelompok social di kampung Cireundeu dari
beberapa aspek sebagai berikut:
1.
Sebab dan Proses Pembentukan Kelompok
Faktor penyebab dibentuknya
kelompok ternak dan kelompok tani pada masyarakat kampung Cireundeu yaitu
sebagai salah satu alat pemersatu bagi masyarakat supaya mereka tidak menuruti
kehendak masing-masing. Sehingga dapat mencegah terjadinya konflik social.
selain itu juga supaya proses kegiatan bertani dan berternak menjadi
berkesinambungan, terkontrol dan termenej dengan baik. Baik dalam segi
pemasaran, modal, pembagian kerja dan pembagian hasil.
Sedangkan mengenai
proses pembentukan kelompok social tersebut, dibentuk melalui kesepakatan
bersama atau musyawarah. Dalam musyawarah tersebut ditentukan struktur
kepengurusan mulai dari ketua, sekretaris, bendahara, seksi kesehatan, dan
seksi pemasaran.
Adapun struktur
kepengurusan Kelompok Ternak dan Kelompok Tani masyarakat kampung Cireundeu
adalah sebagai berikut:
Susunan Pengurus Kelompok Ternak
Makmur Kampung Cireundeu
KETUA
Asep Wardiman
SEKRETARIS BENDAHARA
Sudrajat Widia
SEKSI KESEHATAN SEKSI PEMASARAN
Atang dan Dede Tatang
PETERNAK
DOMBA
Susunan Pengurus Kelompok Tani Ubi
Kayu Kampung Cireundeu
KETUA
Asep
Wardiman
BLOK CIMENTENG BLOK
PUNCAK SALAM
Atang Kanda
SERETARIS BENDAHARA
Sudrajat Widia
SEKSI KESEHATAN SEKSI
PEMASARAN
Atang Tatang
PETANI
UBI KAYU
2.
Cara Berinteraksi Antar Kelompok Dan
Lingkungannya
Interaksi social yang
terjadi antar kelompok (Kelompok Tani dan Kelompok Ternak) masyarakat kampung
Cireundeu berlangsung melalui proses yang asosiatif berupa Kerjasama
(Cooperation).
Kerjasama
berarti bekerja bersama-sama untuk mencapai tujuan yang sama. Ia adalah suatu
proses social yang paling dasar. Dimana Kerjasama dapat atau tidak melibatkan
pembagian berbagai jenis tugas.[4] Kerjasama juga dapat diartikan
sebagai suatu usaha bersama antara orang perorangan atau kelompok manusia untuk
mencapai suatu atau beberapa tujuan bersama.
Adapun
fungsi dari kerjasama tersebut digambarkan
oleh Charles H.Cooley sebagai berikut:
”kerjasama timbul apabila orang
menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama dan pada
saat yang bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian terhadap diri
sendiri untuk memenuhi kepentingan-kepentingan tersebut; kesadaran akan adanya
kepentingan-kepentingan yang sama dan adanya organisasi merupakan fakta-fakta
penting dalam kerjasama yang berguna”.[5]
Seperti halnya dengan kelompok
ternak dan kelompok Tani pada masyarakat Cirundeu, kelompok di bentuk untuk
mencapai tujuan bersama yaitu kesejahteraan dengan melakukan kejasama.
Kerjasama tersebut terlihat dari kekompakan masyarakat Cireundeu dalam
menggarap lahan garapan serta dalam mengurus hewan ternaknya. Mereka
mencangkul, menanam, memupuk dan memanen hasil pertaniannya bersama-sama dengan
hasil panen di bagi secara merata. Supaya setiap bulan dapat
memanen singkong, maka pola tanam disesuaikan dengan usai panen. Selain
memiliki tanah garapan secara berkelompok, setiap masyarakat juga memiliki 3
hingga 5 petak kebun singkong yang berbeda-beda masa tanamnya. Setiap petak
kebun dibuat berbeda masa tanamnya, sehingga pada tiap petaknya akan berbeda
masa panennya. Maka sepanjang tahun ladang mereka selalu menghasilkan singkong.
Jika pagi harinya mereka berangkat
ke kebun dengan membawa pupuk organic dari kandang ternak, maka sore hari
sepulangnya mereka dari kebun, mereka membawa rumput
untuk pakan ternak. Hewan ternak di jual setiap satu tahun sekali setiap
tanggal 10 Dzulhijah tepatnya pada hari raya Idul Adha. Sama halnya dengan
hasil panen, hasil ternak juga dibagi secara merata.
C. Norma, Adat-Istiadat, dan Budaya
Setiap tindakan
manusia dalam bermasyarakat selalu mengikuti pola-pola perilaku atau
norma-norma yang ada di dalam masayarakat tersebut. Pola-pola perilaku atau
tindakan masyarakat yang hidup secara bersama akan menghasilkan suatu
kebudayaan. Kebudayaan ini di dalamnya terdapat kaidah atau norma-norma
kebudayaan, adat istiadat, serta budaya khas yang selalu ditonjolkannya. Dengan
demikian tidak ada masyarakat yang tidak mempunyai kebudayaan, dan sebaliknya
tidak ada kebudayaan tanpa masyarakat sebagai wadah dan pendukungnya. Dan
tentunya kebudayaan pada suatu wilayah akan berbeda dengan kebudayaan wilayah
lainnya, yang memiliki keunikan serta ciri khas dari budaya tersebut.
Kebudayaan
terdiri dari segala hal yang dipelajari dari pola-pola yang normatif, artinya
mencakup segala cara-cara atau pola-pola berfikir, merasakan, dan bertindak. Di
dalam masyarakat pun tidak terlepas dari adat istiadat atau kebiasaan yang
sudah menjelma di dalam suatu masyarakat, terutama dalam masyarakat adat.
Menurut Herskovits kebudayaan yang dimiliki suatu masyarakat merupakan sesuatu
yang super organic, karena kebudayaan
yang turun temurun dari generasi ke generasi tetap hidup terus (Soerdjono,
2004:172-173). Hal tersebut sangat berkaitan dengan adat istiadat,
kaidah-kaidah normatif, dan kebudayaan yang ada pada masayarakat adat
Kp.Cireundeu.
Dalam konsep
pada masyarakat adat Kp.Cireundeu ini sangat berbeda dengan masyarakat adat
lainnya yang kuat dengan banyaknya adat istiadat yang sudah ditentukan dan
mutlak harus dilakukan dan tidak boleh tidak. Norma atau kaidah-kaidah yang
terdapat dalam adat-istiadat pada masyarakat adat ini dalam bertingkah-laku
atau bertindak sebenaranya tidak terpaku pada aturan atau norma yang tertulis
secara khusus, akan tetapi bersifat tidak tertulis dan dipelihara secara turun-temurun.
Masyarakat hanya mengikuti tindakan yang dilakukan nenek moyang terdahulu dalam
kebiasan-kebiasaannya yang terpacu pada adat atau kebiasaan dalam hal masalah
pangan, yaitu mengenai makanan pokok.
Masyarakat adat
ini dalam kehidupan sehari-harinya betul-betul menerapkan tatakrama kehidupan
bermasyarakat dengan prinsip silih asah,
silih asih, silih asuh, tata, titi, duduga peryoga”, dengan menjunjung rasa
kekeluargaan yang dimulai dengan saling mengenal satu sama lain, kemudian
saling mengasihi/menyayangi, dan berlanjut dengan saling menjaga/memelihara,
saling menata juga saling membutuhkan/membantu sehingga tercipta masyarakat
adat yang “akur, rukun, repeh, rapih,
sareng sasama hirup”.
Mereka semua
hidup berdampingan, bahkan kesan kebersamaan dan gotong royongnya sangat kuat
dibandingkan dengan kawasan lain sekitarnya. Mereka tidak hidup individulistis
juga tak mengenal kata perorangan, saling membantu satu sama lain yang mereka
prioritaskan. Hal tersebut menjadikan situasi kehidupan penuh kedamaian dan
kerukunan betul-betul terjelma di kampung yang nan jauh dari keramaian kota.
Kehidupan
masyarakat adat ini sangat bergantung pada empat unsur kehidupan yang sangat
berharga dan penting dalam kehidupan mereka. Empat unsur ini dilambangkan
dengan empat warna sunda, yaitu Merah yang berarti api, Hitam yang berarti
tanah, Putih yang berarti air, dan Kuning yang berarti angin. Unsur-unsur ini
mereka yakini sebagai sumber kehidupan yang tidak akan pernah hilang.
Masyarakat
Kampung Cireundeu merupakan suatu komunitas adat kesundaan yang mampu
memelihara serta melestarikan adat istiadat secara turun temurun. Sedangkan
kebiasaan unik dan dicakap kemungkinan adalah diwajibkannya semua warga kampung
Cireundeu penganut budaya pasundan untuk bisa menulis dan paham huruf aksara
sunda dan untuk itu, semua itu harus selalu ada pelajaran aksara sunda
dan setiap hari selalu ada pelajaran aksara sunda yang diajarkan kepada
anak-anak. Menurutnya urang sunda
adatna kudu sunda” Urang Teh Ulah Cul Dogdog Tinggal Igel, Jati Kasilih Kujunti“,
yang artinya kita jangan sampai terpengaruhi oleh budaya luar, sementara budaya
sendiri dilupakan. Orang Sunda harus berperilaku orang sunda, harus bisa aksara Sunda, adatnya pun
seharusnya adat sunda.
Adat-istiadat
lainnya dalam masyarakat adat Kp. Cireundeu ini yang sangat termasyhur/terkenal
dan tidak kalah unik dengan masyarakat adat lainnya, yaitu dalam hal masalah
pangan yang menjadi khas makanan pokok masyarakat adat Cireundeu ini yaitu ubi
kayu (singkong) yang diolah menjadi “Rasi” (beras singkong). Bahan dasar
singkong ini juga diolah oleh warga menjadi berbagai macam makanan yang dapat
dikonsumsi juga dapat menghasilkan sumber ekonomi untuk masyarakat adat ini.
Selain itu masyarkat adat kampung Cireundeu ini berpedoman pada prinsip hidup
yang mereka anut yaitu: “Teu Nyawah asal boga Pare, Teu boga Pare asal Boga Beas, teu boga Beas
asal bisa Nyangu, teu Nyangu asala Dahar, teu dahar asal Kuat” yang
maksudnya adalah tidak punya sawah asal punya beras, tidak punya beras asal dapat menanak nasi, tidak
punya nasi asal makan, tidak makan asal kuat. Memohon kekuatan hanya kepada
yang Maha Memiliki, yaitu Tuhan Yang Maha Esa.
Sejak zaman
nenek moyang (karuhun) setelah menghilangkan tradisi memakan nasi beras
dan mulai tercatat pada Tahun 1918, masyarakat disana sudah mengkonsumsi ubi
kayu (singkong) sebagai makanan pokok serta mampu melakukan keanekaragaman
pengolahan hasil dari ubi kayu tersebut, diantaranya dapat dibuat, Peuyeum / tape yang bentuknya sama
dengan beras ketan, Keripik
singkong, Rangginang, Bugis, Awug ,Beras Singkong (Rasi), dan lain-lain.
Makanan-makanan
tersebut biasanya diolah oleh para ibu masyarakat adat. Karena disana ibu-ibu
selain hanya diam dirumah juga sebagai pengrajin makanan yang terbuat dari ubi
kayu (singkong), sedangkan para bapak/suami pergi ke gunung untuk bertani juga
beternak. Pada awalnya masyarakat adat ini terbiasa memakan nasi beras, tetapi
sejak tahun 1918 masayarakat ini merubah makanan pokoknya menjadi beras
singkong hingga sekarang. Karena menurutnya singkong lebih mudah ditanam dan
dihasilkan di daerahnya yang sangat subur, sehingga tidak akan merasa
kekurangan makanan dibandingkan dengan nasi beras. Dengan kondisi tersebut,
mereka merasa hidup lebih tentram tanpa terpengaruhi oleh krisis ekonomi negara
yang tidak stabil. Selain itu, sumber makanan pokok selalu tersedia serta mereka
yang berada disana tidak pernah merasa kelaparan.
Adapun
aturan dalam memproduksi singkong ini harus ditanam pada lahan yang sudah
tersedia dan ditentukan. Lahan yang terdapat dihutan tersebut terdiri dari
lahan garapan/produktif dan lahan larangan. Lahan garapan/produktif inilah yang
digunakan masyarakat untuk bercocok tanam terutama ubi kayu (singkong) sebagai
bahan pokok yang utama. Sedangkan lahan larangan merupakan penyeimbang lahan
dan tidak boleh ditanam oleh apapun, hal ini juga guna untuk menghindari bahaya
longsor ke pemukiman warga.
Adat
istiadat ini terutama penghayatan sunda pasundan yang menjadikan ubi kayu
(singkong) sebagai makanan pokok utama merupakan warisan yang diturunkan
turun-temurun oleh nenek moyang terdahulu yang tidak boleh hilang meskipun
Kp.Cireundeu ini berada ditengah-tengah kota Cimahi yang sudah tergerus dengan
kebudayaan luar.
Sebenarnya hal tersebut merupakan paksaan atau
keharusan tetapi ada kata-kata leluhur yang memang dipegang kuat oleh keturunannya.
Kata-kata itu adalah “ Dipigawe
Bakal Ngaraksuk, Dilanggar Bakal Ngaruksak”. Oleh karena itu
meskipun masyarakat adat Cireundeu ini kehidupannya sudah modern, tetapi tidak
pernah meninggalkan atau menghilangkan adat-istiadat yang diwariskan nenek
moyangnya terdahulu, artinya adat-istiadatnya tetap dipertahankan serta
mengikuti perkembangan zaman yang dapat disebut “ciri wanci, cara wangsa”.
Disamping
itu terdapat pula warga pendatang ke masyarakat adat tersebut, terutama dalam
hal perkawinan dengan orang luar tetapi masih keturunan masyarakat adat. Mereka
para pendatang harus bisa beradaptasi dengan masyarakat yang memiliki adat dan
kebiasaan yang terdapat di masyarakat cireundeu. Pendatang yang memiliki
kebiasaan makan nasi beras, berusaha untuk mengikuti kebiasaan masyarakat
cireundeu makan rasi (beras singkong), hal ini bertujuan menghargai kebiasaan
atau adat-istiadat nenek moyang terdahulu. Akan tetapi, dengan adanya
perkembangan zaman tidak dapat dipungkiri masih ada yang tidak memakan rasi,
mereka tetap memakan nasi beras. Orang tersebut termasuk pada masyarakat biasa,
dan bukan sebagai masyarakat adat. Hal ini menjadikan tidak adanya paksaan
dalam mengkonsumsi makanan pokok, baik itu rasi atau nasi beras.
Kebudayaan
memiliki fungsi yang sangat besar bagi masyarakat, terutama bagi masyarakat
Cireundeu ini. Ada satu hal yang menjadi tradisi kebudayaan juga sebagai
adat-istiadat yang dilakukan oleh masyarakat adat ini dalam hal bidang
sprititual yang sangat sakral, yaitu
adat “Tutup taun ngemban Taun 1 Sura Saka Sunda”, artinya menutup tahun
lalu dan menyambut tahun baru Saka Sunda (Muharraman). Tradisi ini dilakukan
setiap 1 tahun sekali tepatnya pada tanggal 1 Sura.
Acara
ini berupa syukuran yang selalu dilaksanakan di tempat pertemuan yang disebut
“Bale Pertemuan” pada malam minggu, karena biasanya pada malam minggu ini semua
warga selalu berkumpul bersama (diskusi, memainkan alat kesenian) di Bale
tersebut hingga pagi. Acara pada penutupan tahun yang lalu dan penyambutan
tahun baru Saka Sunda itu dilakukan adat sungkeman kepada sesepuh adat,
tokoh-tokoh adat, dan dilanjutkan kepada warga-warga yang lainnya. Kemudian
pada tanggal 22 Sura dilanjutkan acara penutupan yang berupa acara
hiburan-hiburan, diantaranya kesenian Karinding, Celempung, Kecapi Suling,
Gondang, dan sebagainya yang diiringi anak-anak atau warga yang menyumbangkan
suaranya untuk bernyanyi sunda. Hal ini terbiasa dilakukan para warga
masyarakat adat Cireundeu dalam menutup tahun yang lalu dan menyambut tahun
baru Saka Sunda setiap satu tahun sekali.
D. Lembaga-Lembaga Sosial serta
Organisasi
Lembaga
kemasyarakatan merupakan terjemahan langsung dari istilah asing sosial-
institution. Diantara para ahli sosiologi, belum ada kata sepakat perihal
istilah Indonesia yang tepat untuk social institutions. Beberapa istilah telah
dikemukakan antara lain “pranata social” dan “bangunan social” dalam tulisan ini
dipakai istilah “lembaga kemasyarakatan” oleh karena istilah ini lebih menunjuk
suatu bentuk dan sekaligus juga mengandung pengertian-pengertian yang abstrak
prihal adanya norma-norma dan peraturan-peraturan tertentu yang menjadi lembaga
tersebut.
Lembaga
kemasyarakatan ialah himpunan norma-norma dari segala tingkatan yang berkisar
pada kebutuhan pokok didalam kehidupan masyarakat.
Didalam
urayan-uranyan yang lalu, di singgung perihal norma-norma masyarakat yang
mengatur pergaulan hidupndengan tujuan untuk mencapai suatu tata tertib.
Norma-norma tersebut, apabila di wujudkan ke dalam hubungan antar manusia,
dinamakan social-organizationn(organisasi sosial). Di dalam perkembangan
selanjutnya, norma-norma tersebut berkelompok-kelompok pada berbagai keperluan
pokok kehidupan manusia.
Seorang sosiolog
, yaitu Sumner yang melihatnya dari sudut kebudayaan, mengartikan lembaga
kemasyarakatan sebagai perbuatan, cicta-cita, sikap dan perlengkapan
kebudayaan, bersifat kekal setra bertujuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
masyarakat. Pentingnya adalah agar keteraturan dan integrasi dalam masyarakat.
Keadan ini
menginpirasi penulis terhadap kearipan yang terjadi di masyarakat Cirendeu yang
berlokasi di daerah cimahi, suatu kelembagaan yang terjadi sesuai dengan fungsi-fungsi
dari suatu lembaga kemasyarakatan yang bisa di uraikan sebagai berikut :
1.
Pedoman dalam bertingkah laku dalam
menghadapi masalah dalam masyarakat,
terutama dalam
menyangkut kebutuhan pokok.
2.
Menjaga keutuhan masyarakat.
3.
Merupakan pedoman sistem pengendalian
sosial di masyarakat.
Bertapa
pentingnya penelitian terhadap lembaga kemasyarakatan sebagaimana penelitian
yang kami lakuakan di kampung Cirendeu RW 10 terletak di Cimahi Selatan, Jawa
Barat. Kami melakukan penelitian dengan cara atau metode-metode yang para ahli
lakukan terdahulu, yaitu sebagai berikut : (a) Analisis secara historis, (b) Analisis
kompratif, (c) Analisis fungsional.
a.
Lembaga
Kemasyarakatan (Klompok Masyarakat) Yang Terjadi di Kampung Cirendeu RW
10 terletak di Cimahi Selatan, Jawa Barat.
-
Kelompok Adat
·
Sesepuh
·
Ais pangampih
·
Pangintren
-
Kelompok Pemerintah Daerah
·
RT
·
RW
-
Kelompok Bertani
·
Kelompok Bertani yang berkelompok
·
Kelompok bertani individu
-
Kelompok Berternak
·
Kelompok Berternak kelompok
·
Kelompok Berternak Individu
-
Kelompok ibu-ibu Kreatif
·
Olahan kue atau makanan dari singkong
Suatu masyarakat adat
tentunya membutuhkan suatu lembaga untuk menjadi integrasi dalam kelompok
masyarakat adat.
-
Kelompok Kesenian
b.
Proses
Pertumbuhan Lembaga Kemasyarakatan Yang Terjadi di Kampung Cirendeu RW 10
terletak di Cimahi Selatan, Jawa Barat.
1.
Norma-norma masyarakat Yang Terjadi di
Kampung Cirendeu RW 10 terletak di Cimahi Selatan, Jawa Barat.
Norma-norma yang ada di dalam masyarakat mempunyai
kekuatan mengikat yang berbeda-beda. Ada norma yang lemah, yang sedang sampai
yang terkuat daya ikatnya.
Ada empat pengertian norma yang memberikan
pedoman bagi seseorang untuk bertingkah laku dalam masyarakat yaitu :
a.
Cara (usage) menunjuk pada suatu bentuk
perbuatan.
b.
Kebiasaan (folkways) adalah perbuatan
yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama.
c.
Tata kelakuan (mores) merupakan
kebiasaan yang dianggap sebagai cara berperilaku dan diterima norma-norma
pengatur.
d.
Adat Istiadat (customs) adalah tata
kelakuan yang kekal serta kuat integrasinya dengan pola-pola perilaku
masyarakat. Ada sanksi penderitaan bila dilanggar.
Masyarakat
Cirendeu merupakan masyarakat yang berpegang teguh terhadap leluhur terdahulunya
dalam bentuk ideologi bersama dan mengeluarkan kebersamaan yang mampu meredam
konflik di dalamnya. Norma-norma yang ada berfungsi dengan baik sebagai
pengawas dari letak geografis maupun tata tingkah laku dan lain sebagainya.
2.
Sosial Control di Kampung Cirendeu RW 10
terletak di Cimahi Selatan, Jawa Barat.
Arti
sesungguhnya pengendalian sosial jauh lebih luas, karena pada pengertian
tersebut tercakup segala proses, baik yang di rencanakan maupun tidak, yang
bersipat mendidik, mengajak, atau bahkan menaksa warga-warga masyarakat
mematuhi kaidah-kaidah dan nilai sosial yang berlaku.
Jadi pengendalian sosial dapat di
lakukan oleh individu terhadap individu lainya. Seperti yang terjadi di
Kampung Cireundeu RT 10 yang tetap
percaya terhadap nilai-nilai yang sudah ada sejak dulu oleh para nenek
moyangnya) atau mingkin dilakukan oleh individu terhadap suatu kelompok sosial
(misalnya para pendahulu Kampung Cirendeu RT 10 yang memilah-milah makanan yang
cocok untuk di konsumsi anak cucunya sampe sekarang di tentukanlah makanan
tersebut yaitu singkong sebagai pengganti nasi). Itu semuanya merupakan proses
pengendalian sosial yang dapat terjadi dalam kehidupan sehari-hari, walau
sering kali manusia tidak menyadari.
Ada empat pengertian norma (dimana
dasar norma tersebut sama, yaitu memberikan pedoman bagi seseorang untuk
bertingkah laku dalam masyarakat), yaitu :
1.
Cara (Usage) menunjuk pada suatu
bentuk perbuatan
2.
Kebiasaan (folkways) adalah
bentuk yang di ulang-ulang dalam bentuk yang sama.
3.
Tata Kelakuaan (Mores) merupakan
kebiasaan yang di anggap sebagai cara berprilaku dan diterima norma-norma
pengatur.
4.
Adat istiadat (Customs) adalah
tat kelakuan yang kekel serta kuat integrasinya dengan pola-pola prilaku
masyarakat. Ada sangsi penderitaan bila di langgar
Proses yang terjadi di Kampung
Cirendeu RT 10 dalam rangka pembentukannya sebagai lembaga kemasyarakatan,
yaitu sebagai berikut :
1.
Proses pelembagaan (intitutionalizion),yakni
suatu proses yang di lewati oleh sesuatu norma masyarakat yang baru untuk
memjadi bagian dari sala-satu lembaga kemasyarakatan .
2.
Norma-norma yang (Internalizition) artinya
proses norma-norma kemasyarakatan tidak hanya berhenti sampai pelembagaan saja,
tetapi mendarah daging dalam jiwa anggota-anggota masyarakat.
Agar
Anggota Masyarakat Kampung Cirendeu RT 10 tetap taat pada norma yang berlaku,
di ciptakan sistem pengendalian sosial, yang bersifat :
1.
Preventif/positif
2.
Represif/negatif
Dengan
demikian, pengendalian sosial yang terjadi di Kampung Cirendeu RT 10 terutama
bertujuan untuk mencapai keserasian antara stabilitas dengan
perubahan-perubahan dalam masyarakatnya. Atau, suatu sistem pengendalian sosial
bertujuan untuk mencapai keadaan damai melalui keserasian antara kepastian
dengan keadilan /keseimbangan.
c.
Ciri-ciri Umum
dan Tipe Lembaga Kemasyarakatan di Kampung Cirendeu RW 10 terletak di
Cimahi Selatan, Jawa Barat.
Sebagaimana
telah diuraikan oleh Soerjono Soekanto ciri-ciri umum daripada lembaga social
yaitu :
1.
Suatu lembaga kemasyarakatan adalah
suatu organisasi dari pada pola-pola pemikiran dan pola-pola perikelakuan yang
terwujud melelui aktivitas-aktivitas kemasyarakatan dan hasilhasilnya.
Lembaga
kemasyarakatan terdiri dari unsur-unsur kebudayaan lainnya yang secara
langsung maupun tidak langsung tergabung dalam satu unit yang fungsional.
langsung maupun tidak langsung tergabung dalam satu unit yang fungsional.
2.
Suatu tingkat kekekalan tertentu
merupakan ciri dari semua lembaga kemasyarakatan. Sistem-sistem kepercayaan dan
aneka macam tindakan, baru menjadi bagian lembaga kemasyarakatan. Setelah melewati
waktu yang relatif lama. Misalnya suatu sistem pendidikan tertentu baru akan dapat
diterapkan seluruhnya, setelah mengalami suatu percobaan.
Lembaga-lembaga
kemasyarakatan biasanya juga berumur lama sekali, oleh karena pada umumnya
orang menganggapnya sebagai himpunan norma-norma yang berkisar pada kebutuhan
pokok masyarakat yang sudah sewajarnya harus dipelihara.
3.
Lembaga kemasyarakatan mempunyai
alat-alat perlengkapan yang dipergunakan untuk mencapai tujuan lembaga yang
bersangkutan, seperti misalnya bangunan, peralatan mesin-mesin dan sebagainya.
Bentuk serta penggunaan alat-alat tersebut biasanya berlainan asntara satu
masyarakat dengan masyarakat lainnya.
4.
Lambang-lambang biasanya juga merupakan
ciri yang khas dari lembaga kemasyarakatan.
Lambang-lambang tersebut secara simbolis menggambarkan tujuan dan fungsi lembaga yang bersangkutan. Sebagai contoh, kesatuan-kesatuan Angkatan Bersenjata, masing-masing mempunyai panji-panji; perguruan-perguruan tinggi seperti Universitas, Institut dan lain-lain lagi. Kadang-kadang lambang tersebut berwujud tulisan-tulisan atau slogan-slogan.
Lambang-lambang tersebut secara simbolis menggambarkan tujuan dan fungsi lembaga yang bersangkutan. Sebagai contoh, kesatuan-kesatuan Angkatan Bersenjata, masing-masing mempunyai panji-panji; perguruan-perguruan tinggi seperti Universitas, Institut dan lain-lain lagi. Kadang-kadang lambang tersebut berwujud tulisan-tulisan atau slogan-slogan.
5.
Suatu lembaga kemasyarakatan, mempunyai
suatu tradisi yang tertulis ataupun yang tak tertulis, yang merumuskan
tujuannya, tata-tertib yang berlaku dan lain-lain. Tradisi tersebut, merupakan dasar
bagi lembaga itu didalam pekerjaannya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok
dari pada masyarakat, dimana lembaga kemasyarakatan tersebut menjadi bagiannya.
Tipe-tipe lembaga sosial masyarakat Kampung Cirendeu RT 10
termasuk lembaga masyarakat yang lahir dari sudut perkembangannya yaitu “Cresive
institution” yaitu istitusi yang tidak sengaja tumbuh dari adat istiadat
masyarakat. Karena adat istiadat disana semakin berkembang maka dibuat lembaga
kemasyarakatan.
E.
Stratifikasi
Sosial
Setiap masyarakat senantiasa mempunyai penghargaan tertentu terhadap hal – hal tertentu dalam masyarakat yang
bersangkutan. Penghargaan yang lebih tinggi terhadap hal – hal tertentu , akan
menempatkan hal tersebut pada kedudukan yang lebih tinggi dan hal lainnya.
Kalau suatu masyarakat lebih menghaegai kekayaan material dari pada kehormatan
, misalnya, maka mereka yang lebih
banyak mempunyai kekayaan material akan menempati kedudukan yang lebih tinggi
apabila dibandingkan dengan fisik -
fisik lain. Gejala tersebut menimbulkan lapisan masyarakat , yang merupakan
pembedaan posisi seseorang atau suatu kelompok dan kedudukan berbeda – beda
secara vertikal.[6]
Stratifikasi sosial merupakan suatu konsep dalam
sosiologi yang melihat bagaimana anggota masyarakat dibedakan berdasarkan
status yang dimilikinya. Status yang dimiliki oleh setiap anggota masyarakat
ada yang didapat dengan suatu usaha (achievement status) dan ada yang didapat
tanpa suatu usaha (ascribed status).
Dari
pengertian di atas dan dari penelitian yang
dilakukan oleh kelompok kami di
Kampung Cireundeu, mengenai Stratifikasi Sosial di Kampung tersebut, ternyata di Kampung Cireundeu tersebut
tidak ditemukannya Stratifikasi Sosial, sumber tersebut menyatakan bahwa di
Kampung tsb tidak adanya sistem Stratifikasi sosial , dia menyatakan bahwa
disana semua masyarakat dianggap sama, terbukti bahwa di tempat bale – balenya
pun atau semacam Aula yang ada di kampung tersebut , tempat para warga
berkumpul, tidak memakai kursi , tetapi hanya memakai alas saja , semacam
karpet atau tikar , itu dikarenakan semua orang disana dianggap sama , tidak
ada perbedaan. Jadi disana tidak terjadi persaingan yan menunjukan kekayaan,
Profesi, dan Kedudukan.
Kedudukan
yang ada disana hanya tingkatan Sesepuh ( Kepengurusan untuk keseluruhan adat )
, Ais Pangasih dan Pangintren ( kepengurusan pendatang / tamu dari luar yang
ingin melihat atau mengunjungi Kampung tersebut). Ketiga kedudukan tersebut dipilih masyarakat
dengan cara dilihat orang tersebut berkharisma dan patut disepuhkan di
masyarakat itu.
Saking
tidak ada perbedaan satu sama lain diantara
mereka,
bila ada seorang warga tidak mempunyai Rasi atau makanan, warga yang lain ikut
membantu kepada warga yang tidak mempunyai makanan tersebut. Selain itu juga, warga disana sangat mengukuhkan tali
kekeluargaan , warga disana sudah menganggap satu warga dengan warga lain
seperti keluarga , seperti
yang telah dijelaskan di atas. Warga disana juga mengukuhkan sifat
bergotong royong , bila ada sarana tempat tinggal atau lingkungan yang rusak ,
maka semua warga akan bergotong royong memperbaikinnya , semua lapisan
masyarakat terutama laki – laki ikut
untuk bergotong royong.
Dimasyarakat
Cireundeu juga terdapat masyarakat yang asli dan masyarakat pendatang, dan rata
– rata pekerjaan yang digeluti oleh masyarakat disana , ada dua yaitu
masyarakat kelompok petani ( dominan ) dan masyarakat kelompok peternak, tetapi
juga disana ada masyarakat yang berpofesi sebagai ( PNS ) tetapi hanya
sebagian.
F. Sistem Kekuasaan atau Kewenangan
Pola
kepemimpinan, salah satu ciri yang menentukan
kepemimpinan di kampung Cireundeu
cenderung banyak ditentukan oleh kualitas pribadi dari individu. Disebabkan
oleh luasnya kontak tatap muka dan individu lebih banyak saling mengetahui.
Misalnya karena kejujuran, kesolehan, sifat pengorbanannya dan pengalamannya.
G. Masalah Sosial di masyarakat Adat
Kampung Cireundeu
Manusia adalah
makhluk sosial. Apa yang dimaksud dengan makhluk sosial? Yang dimaksud makhluk
sosial adalah manusia membutuhkan manusia lain untuk melanjutkan hidup mereka.
Dengan kata lain mereka memiliki keterikatan saling membutuhkan antara manusia
satu dengan manusia lainnya.
Manusia
memiliki sifat baik dan sifat buruk. Mungkin lingkungan sekitar dapat
mempengaruhi sifat kita. Ada beberapa orang
menganggap orang kampung atau orang desa dengan orang kota memiliki sifat yang berbeda. Ada yang mengatakan orang
desa atau orang kampung memiliki sifat sosial yang tinggi, karena mereka hidup
saling berdampingan dan saling sering berkomunikasi antar tetangga. Jadi tali
persaudaraan mereka lebih erat dibandingkan dengan masyarakat yang tinggal di kota. Orang kota berkebalikan dengan
orang yang tinggal di desa.
Dari segi
tempat tinggal orang kota
lebih kurang bersahabat dengan masalah sosial. Perumahan elite di kota, kita dapat melihat
rumah-rumah besar dengan dinding dan pagar yang menjulang tinggi sehingga tidak
dimungkinkan mereka jarang berkomunikasi dengan tetangga nya. Justru ada
sebagian masyarakat yang tidak mengenal tetangganya.
Ini adalah salah satu permasalahan sosial yang
ada di lingkungan kota.
Tapi disini kita akan membedah masalah soial yang ada di desa atau terkhusus
diKampung Cireundeu.
Terdapat
masalah sosial yang terjadi di desa atau kampung Cireundeu ini, salah satunya
adalah : Rendahnya tingkat pendidikan.
Pendidikan dikampung Cireundeu terbilang sangat rendah. Dari beberapa warga di
sana hanya beberapa orang yang lulus sampai SMA dan Perguruan tinggi. Selebihnya
SD dan SMP bahkan ada yang tidak
mengenyam pendidikan sekalipun. Ironis memang, keadaan alam kampung yang begitu
hijau, indah, dan sejuk dibalik itu semua warganya begitu kurang mengenyam pendidikan.
Tentunya ini adalah PR bagi Pemerintah
supaya masyarakatnya terjamin akan kebutuhan pendidikan.
H.
Perubahan
Sosial di masyarakat Adat Kampung Cireundeu
Setiap masyarakat
manusia selama hidup pasti mengalami perubahan-perubahan. Perubahan mana dapat
berupa perubahan yang tidak menarik dalam arti kurang mencolok. Ada pula
perubahan-perubahan yang lambat sekali,akan tetapi ada juga yang berjalan
dengan cepat. Perubahan-perubahan masyarakat dapat mengenai nilai-nilai sosial,
norma-norma sosial, pola-pola perilaku organisasi, susunan lembaga
kemasyarakatan, lapisan-lapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang,
interaksi sosial dan lain sebagainya.
Disamping itu
diperlukan pula perubahan-perubahan masyarakat yang dapat menetralisasi
faktor-faktor kemasyarakatan yang mengalami perkembangan. Hal itu dapat
memperkuat atau menciptakan fsktor-faktor yang dapat mendukung pembangunan
tersebut. Perubahan-perubahan di luar bidang ekonomi itu tidak dapat
dihindarkan karena setiap perubahan dalam suatu lembaga kemasyarakatan akan
mengakibatkan pula perubahan-perubahan di dalam lembaga-lembaga kemasyarakatan
tersebut selalu terkait proses saling mempengaruhi secara timbal-balik.
Perubahan-perubahan
yang terjadi pada masyarakat dunia dewasa ini merupakan gejala yang normal.
Pengaruhnya bisa menjalar dengan cepat ke bagian-bagian dunia lain terkait
adanya komunikasi modern. Penemuan-penemuan baru dibidang teknologi yang
terjadi di suatu tempat, dengan cepat dapat diketahui oleh masyarakat lain yang
berada jauh dari tempat tersebut.
Secara
fisik Cireundeu memang kampung biasa, namun karena ketatnya menjalankan tradisi
karuhun kampung ini akhirnya di kukuhkan secara de facto sebagai kampung adat.
Kepercayaan ini juga dikenal sebagai cara karuhun urang, agama Sunda wiwitan,
ajaran madrais atau agama cigugur. Mereka percaya pada Tuhan, dan teguh menjaga
kepercayaan serta menjaga jatidiri Sunda mereka agar tidak berubah.
Falsafah
hidup masyarakat Cireundeu belum banyak berubah sejak puluhan tahun lalu dan
mereka masih memegang ajaran moral tentang bagaimana membawa diri dalam hidup
ini. Ritual 1 sura yang rutun di gelar sejak kala, merupakan satu simbol dari
falsafah tersebut. Suraan demikian warga Cireundeu menyebutnya memiliki makna
yang dalam. Bahwa manusia itu harus memahami bila ia hidup berdampingan dengan
makhluk lainnya baik dengan lingkungan, tumbuhan, hewan, angin, laut, gunung,
tanah, air, api, kayu, dan langit. Selain itu masyarakat Cireundeu menghormati
leluhur mereka dengan tidak memakan nasi melainkan singkong.
Pangeran
Madrais pernah berkata jika orang Cireundeu tidak mau terkena bencana maka
pantang makan nasi. Sekarang terbukti, dimana orang lain bingung memikirkan
harga beras yang makin naik, warga sini adem ayem saja karena singkongnya pun
hasil kebun sendiri. Dengan itu apa yang terjadi di suatu kampung adat seperti
di cireundeu, setelah melihat adanya perubahan di dalam nilai-nilai sosialnya
masyarakat disana masih sangat kental dengan kebiasaan-kebiasaan
turun-temurunnya yaitu dengan ketahanan pangannya,meskipun mereka saat ini
sudah terpengaruh oleh budaya-budaya dari luar mereka tetap tidak meninggalkan
nilai budayanya sendiri yang sangat kuat hingga saat ini, dibanding dengan
cireundeu dulu masyarakatnya sama sekali tidak terpengaruh oleh budaya dari
luar sehingga nilai-nilai budayanya lebih kuat, begitupun juga dengan
norma-norma yang ada di kampung tersebut
cireundeu dulu masyarakatnya sangat mematuhi aturan-aturan yang ada
disana tidak ada yang bertentangan dengan norrna-norma yang ada,
Perubahan
Sosial yang terjadi di kampung Cireundeu dari tahun 1918 hingga saat ini, dulu
penduduk di kampung Cireundeu masih relatif sedikit dan lahan pun masih luas,
penduduk Cireundeu dulu pernah mencoba menanam padi, namun lahan disana tidak
cocok untuk ditanami padi, lebih cocok untuk ditanami singkong. Jadi sampai
sekarang masyarakat Cireundeu sudah terbiasa makan nasi singkong atau sering
disebut rasi. Hal tersebut terjadi pada tahun 1918-1924 karena pada saat itu
masyarakat disana masih memilih antara beras padi dan beras singkong, namun
setelah masyarakat disana melihat perekonomian Negara yang dikuasai oleh
penjajah, merekapun lebih memilih
singkong dari pada beras padi. Mungkin cireundeu dulu bisa disebut cireundeu
yang kurung batok dimana masyarakat asli cireundeu kehidupannya hanya dilingkungan itu saja, selain itu masyarakat
kampung Cireundeu dulu cenderung tertutup terhadap masyarakat asing
(pendatang), dulu bila ada tamu dari luar masih malu-malu bahkan langsung lari
kerumah. Sedangkan sekarang masyarakat kampung Cireundeu sudah mulai terbuka
dan anak-anak pun sudah mulai bersekolah. Warga kampung Cireundeu juga sudah
mulai terbuka dengan kebudayaan lain dengan cara mengundang masyarakat dari
luar dan menerima teknologi-teknologi modern dibanding masyarakat dulu, kampung
cireundeu tidak banyak yang memakai alat-alat elektronik.
Perubahan
dalam bidang ekonomi dikampung Cireundeu dulu masyarakatnya bermatapencaharian
dari berkebun dan berternak, yang penghasilannya hanya diperoleh dari berkebun
dan berternak saja. Sedangkan sekarang masyarakatnya sudah ada yang bekerja
sebagai buruh pabrik, namun itu juga hanya pemuda-pemudanya saja. Sedangkan
yang sudah tua masih berpenghasilan dari berkebun. Selain itu juga sekarang
hasil dari bertani itu diolah lagi menjadi beberapa makanan ringan seperti,
eggrol yang terbuat dari singkong, kicimpring, ranginang, dan kue-kue lainnya,
bahkan masyarakat disana membuat beras yang terbuat dari singkong atau sering
disebut oleh masyarakat sana RASI. Banyak para pendatang yang membeli makanan
khas kampung Cireundeu baik itu yang
wisata kesana maupun para mahasiswa yang sedang penelitian. Namun mereka tidak
menjual ke luar daerah, hamya menjualnya didalam kampung Cireundeu saja. Jadi
apabila ingin atau berminat untuk membeli dan mencoba makanan khas kampung
Cireundeu mesti langsung ke tempat pembuatannya yaitu dikampung Cireundeu.
Selain
itu juga kampung Cireundeu mengalami perubahan dalam hal bangunan dimana
bangunannya dulu dindingnya masih terbuat dari anyaman bambu (bilik) dan atapnya
dari hateup (daun kelapa), dibanding sekarang bangunannya sudah modern yang
berdindingkan tembok dan beratap genteng. Namun kata kepala adat disana
seharusnya tidak dirubah dengan tembok, karena dengan mengubahnya berarti
menghilangkan adat ciri khas bangunan kampung Cireundeu dulu yang seharusnya
dilestarikan.
BAB
III
PENUTUP
B.
KESIMPULAN
Kampung
Cireundeu adalah sebuah bukit kecil yang dihuni oleh 50 KK atau 800 jiwa yang
memiliki tradisi berbeda. Sebagian penduduk Cireundeu, sejak ratusan tahun
silam (sejak tahun 1918), tidak pernah menggunakan beras lagi sebagai bahan
makanan pokok. Masyarakat Kampung Cireundeu merupakan suatu komunitas adat
kesundaan yang mampu memelihara, melestarikan adat istiadat secara turun
temurun dan tidak terpengaruhi oleh budaya dari luar. Situasi kehidupan penuh
kedamaian dan kerukunan “silih asah, silih asih, silih asuh, tata,
titi, duduga peryoga“. Mereka memegang teguh pepatah Karuhun Cireundeu,
yaitu: “Teu nanaon teu boga huma ge asal boga pare. Teu nanaon teu boga
pare ge asal boga
beas Teu nanaon teu boga bias ge asal bisa ngejo Teu nanaon teu bisa
ngejo ge asal bisa nyatu. Teu nanaon teu bisa nyatu ge asal bisa hirup.”
Masyarakat
Cireundeu menyebut diri mereka penganut Sunda Wiwitan, Sunda Wiwitan sendiri
mengandung arti Sunda yang paling awal dan bagi mereka agama bukan sarana
penyembahan namun sarana aplikasi dalam kehidupan, karena itu mereka memegang teguh
tradisi dan jarang sekali ditemukan situs-situs penyembahan. Pangeran Haji
Ali Madrais yang diakui sebagai nenek moyang masyarakat Cireundeu
mungkin mendapat gelar Haji bukan karena dia benar-benar pergi memenuhi rukun
Islam tetapi mendapat sebutan Haji karena dianggap sebagai pemimpin atau imam.
Meskipun kampung Cireundeu dinobatkan
sebagai salah satu kampung adat yang ada di Jawa Barat, tetapi mereka tidak pernah menutup diri dari
perkembangan teknologi. Bisa di bilang kampung Cireundeu adalah Kampung Adat
yang fleksibel. Dalam batasan-batasan tertentu mereka
secara terbuka menerima teknologi di tengah-tengah kehidupannya, tanpa
melupakan adat para leluhurnya. Bagi mereka menjaga apa yang telah diwariskan
oleh para leluhurnya, bukan berarti tidak boleh bergaul dengan yang lainnya.
Apalagi sampai menutup diri dari perkembangan Zaman. Sehingga sampai pada saat ini gaya hidup masyarakat Kampung Cireundeu bisa
dikategorikan pada gaya hidup yang modern.
C.
SARAN
Mengenal pola kehidupan masyarakat adalah aplikasi
dari sosiologi. Tapi bukankah kita sejak lahir telah mengenal kehidupan sosial
berawal dari interaksi ayah, ibu, dan anak. Ya, sosiologi secara tak sadar
telah diketahui manusia sejak lahir ke dunia, tentu saja pernyataan ini
didukung Soerjono Soekanto. Kegiatan PPM (Praktek Profesi Mahasiswa) Jurusan
Sosiologi adalah bentuk mengenal kehidupan masyarakat lokal dengan gaya mahasiswa (baca:
ilmiah) secara real time. Kegiatan ini merupakan pengejawantahan
dari teori-teori sosial yang menjadi
hidangan utama sosiologi.
Selama penelitian kami tidak begitu banyak menemukan
kendala. Oleh karena itu saran kami
terhadap panelitian berikutnya, peneliti harus cekatan dalam mencari informasi
tentang objek yang akan diteliti. Peneliti harus bisa berbaur langsung dengan
masyarakat sekitar agar terjalin keakraban antara peneliti dengan warga.
Dalam hal ini kami sarankan juga, peneliti jangan
terlalu menonjolkan bahwa kita adalah seorang peneliti tapi haruslah berangkat
dari kesadaran bahwa kita juga masyarakat biasa.
DAFTAR PUSTAKA
Hadisubroto. S., Pokok-pokok Pengumpulan Data,
Analisis Data, Penafsiran Data, dan Rekomendasi
Data Penelitian Kualitatif, Bandung:PPs IKIP Bandung,1989.
Nasution,S.,Metode Penelitian Naturalistik
Kualitatif,Bandung,Tarsito.1992
Soekanto, Soerjono. 1981.Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat.
Jakarta
: CV. Rajawali.
Soekanto, Soerjono.
1987. Sosiologi Suatu Pengantar. Rajawali Pers : Jakarta
Beteille, A. 1970. Social
Inequality. Penguin Education. California.
Douglas,
J.D. 1981. Introduction to Sociology ; Situations and Structures. The
Free Press. New York.
Kornblum,
W. 1988. Sociology in Changing World. Holt, Rinchart and Winston. New York.
Kuntowijoyo.
2002. Perubahan Sosial dalam Masyarakat
Agraris Madura. Mata Bangsa. Jogjakarta.
Linton, R. 1967.
“Status and Role” dalam Lewis A. Coser dan Bernard Rosenberg. Sociological
Theory ; A Book of Reading.
The Macmillan. New York.
Merton,
Robert K. 1964. Social Theory and Social Structure. The Free Press. New York.
Sarman,
M. 1994. Perubahan Status Sosial dan
Moral Ekonomi Petani. Prisma No. 7.
Sosrodihardjo,
S. 1972. Perubahan Struktur Masyarakat di Djawa; Suatu Analisa. Karya. Jogjakarta.
Wertheim,
W.F. 1999. Masyarakat Indonesia
dalam Transisi; Studi Perubahan Sosial. Tiara Wacana. Jogjakarta.
[1]
lihat hlm. 61. Soerjono
Soekanto. 2004.”Sosiologi Suatu Pengantar”.PT Grafindo Persada:Jakarta.
[2]
lihat hlm. 114-115.
Soerjono Soekanto. 2004.”Sosiologi Suatu Pengantar”.PT Grafindo
Persada:Jakarta.
[3]
lihat hlm. 115. Soerjono
Soekanto. 2004.”Sosiologi Suatu Pengantar”.PT Grafindo Persada:Jakarta.
[4]
lihat hlm. 54. Roucek,Joseph S dan Roland L. Warren..1984.”Pengantar
Sosiologi.PT Bina Aksara
[5]
lihat hlm. 73. Soerjono
Soekanto. 2004.”Sosiologi Suatu Pengantar”.PT Grafindo Persada:Jakarta.
[6] Soejono
Soekamto. Sosiologi Suatu pengantar.Hlm: 251
Tidak ada komentar:
Posting Komentar