Rabu, 14 Maret 2012

Kampung Cireundeu



BAB II
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Sosiologi terdiri atas beberapa bagian, diantaranya sosiologi pedesaan. Sosiologi pedesaan  merupakan salah satu cabang sosiologi yang mempelajari dan menganalisis budaya masyarakat pedesaan secara sosiologis, yang meliputi organisasi dan stuktur, nilai-nilai dan proses-proses sosial, dan juga termasuk perubahan-perubahan sosial. Objek kajian dari studi sosiologi pedesaan adalah masyarakat desa dengan pola-pola kebudayaan yang ada di desa tersebut. Desa merupakan satuan administratif yang diatur oleh pemerintah, selain itu desa diartikan sebagai suatu sistem yang merupakan suatu kesatuan yang utuh, terbentuk secara berkesinambungan dalam kurun waktu yang relatif lama.
Masyarakat desa adalah masyarakat yang kehidupannya masih banyak dikuasai oleh adat istiadat lama. Adat istiadat adalah sesuatu aturan yang sudah mantap dan mencakup segala konsepsi sistem budaya yang mengatur tindakan atau perbuatan manusia dalam kehidupan sosial hidup bersama, bekerja sama dan berhubungan erat secara tahan lama, dengan sifat-sifat yang hampir seragam.
Seorang sosiolog terkemuka yaitu Pitirim A. Sorokin (J.D. Douglas, 1981:83) menyatakan bahwa sistem berlapis-lapis merupakan ciri yang tetap dan umum dalam setiap masyarakat yang hidup teratur, seperti yang terjadi pada desa. Hal tersebut menyebabkan stratifikasi sosial yang  melekat pada desa. Stratifikasi sosial dapat dipengaruhi oleh kekuasaan dan peran yang terdapat dalam kedudukan sosial seseorang. Faktor-faktor yang menjadi ukuran atau kriteria sebagai dasar pembentukan dasar pelapisan sosial yaitu, ukuran kekayaan, ukuran kekuasaan dan wewenang, ukuran kehormatan, dan ukuran ilmu pengetahuan. Kedudukan sosial merupakan tempat seseorang secara umum dalam masyarakatnya yang berhubungan dengan orang lain, dalam arti lingkungan pergaulannya, prestisenya, dan hak-hak serta kewajiban-kewajibannya.
 Kampung Cireundeu mempunyai filosofi kehidupan yang sangat unik, dimana nuansa hidup yang santun dalam nafas setiap insan warga Kampung, mencintai lingkungan, budaya sunda dan kesenian khas masih terjaga dan terpelihara,sebagaian masyarakatnya masih mempertahankan adat leluhurnya, makanan pokonya nasi yang terbuat dari singkong atau di kenal dengan nama “Rasi” atau beras singkong, bahkan divervikasi produk makanan yang berbahan dasar singkong tersedia di kampung ini.
                   Kampung Cireundeu adalah salah satu model kampung yang sebagian besar penduduknya sudah meninggalkan ketergantungannya akan beras sebagai makanan pokok sehari hari, singkong adalah pilihannya yang telah terbukti menyelamatkan warganya dari kerisis pangan yang terjadi. samapai saat ini belum pernah terjadi kesulitan dan kekurangan kebutuhan akan makanan pokok. singkong di kampung ciereundeu dapat di buat menjadi berbagai macam makanan, hal ini dapat dijadikan sebagai contoh yang dapat di implementasikan di daerah lain sebagai bukti nyata program ketahanan pangan.
                   Potensi  kegiatan pengolahan singkong yang dilakukan oleh warga kampung cireundeu dapat memberikan manfaat,salah satunya dapat meningkatkan perekonomian warga kampung yang secara signifikan yang dibandingkan dengan hanya menjual singkong dalam kondisi bahan mentah.
                   Pola makanan pokok kampung cireundeu mudah-mudahan dapat dijadikan contoh dan disosialisasikan dikhalayak umum di seluruh wilayah Indonesia.sehingga harapan dari program ketahanan pangan dapat terwujud,agar kita dapat terbebas dari krisis pangan yang slalu menghantui masyarakat kecil khususnya,dengan sendirinya beban pemerintah akan subsidi pemenuhan beras akan berkurang.
                   Karena keunikan dari kampung Cireundeu ini, banyak yang melakukan observasi, yang dilakukan oleh lembaga perguruan tinggi maupun LSM., baik dari aspek budaya maupun dari aspek ketahanan pangannya.
                   Sebagaimana dari uraian diatas, maka penyusun mengambil judul mengenai “Efektifitas Ketahanan Pangan Terhadap Kesejahteraan Masyarakat Di Kampung Cireundeu”
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat disusun rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana sejarah berdirinya masyarakat adat Kampung Cireundeu?
2.      Bagaiman proses sosial (interaksi) serta kelompok-kelompok sosial yang ada pada masyarakat adat kampung Cireundeu?
3.      Bagaimana norma, adat istiadat dan budaya yang ada pada masyarakat adat Kampung Cireundeu?
4.      Apa saja lembaga-lembaga sosial serta organisasi yang ada di masyarakat adat Kampung Cireundeu?
5.      Bagaimana staratifikasi yang ada pada masyarakat adat kampung Cireundeu?
6.      Bagaimana system kekuasaan, kewenangan dan kepemimpinan pada masyarakat adat Kampung Cireundeu?
7.      Apa saja masalah-masalah sosial yang ada pada masyarakat adat Kampung Cireundeu?
8.      Bagaimana perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat adat Kampung Cireundeu?
C.    MAKSUD DAN TUJUAN
Adapun maksud dan tujuan dari penulisan ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui sejarah berdirinya masyarakat adat Kampung Cireundeu.
2.      Untuk mengetahui proses sosial (interaksi) serta kelompok-kelompok sosial yang ada pada masyarakat adat kampung Cireundeu.
3.      Untuk mengetahui norma, adat istiadat dan budaya yang ada pada masyarakat adat Kampung Cireundeu.
4.      Untuk mengetahui lembaga-lembaga sosial serta organisasi yang ada di masyarakat adat Kampung Cireundeu.
5.      Untuk mengetahui staratifikasi yang ada pada masyarakat adat kampung Cireundeu.
6.      Untuk mengetahui system kekuasaan, kewenangan dan kepemimpinan pada masyarakat adat Kampung Cireundeu.
7.      Untuk mengetahui masalah-masalah sosial yang ada pada masyarakat adat Kampung Cireundeu.
8.      Untuk mengetahui perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat adat Kampung Cireundeu.
D.    Kegunaan Penelitian
1.      Memperoleh gambaran dan menambah khasanah pengetahuan tentang sejarah,proses sosial,  stratifikasi sosial, norma, adat dan istiadat, sistem kekuasaan, kewenangan dan kepemimpinan, masalah-masalah sosial dan perubahan sosial  yang terjadi di Kampung Cireundeu, kelurahan Leuwi Gajah, kota Cimahi Selatan.
2.      Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi kalangan akademis dan umumnya bagi masyarakat luas.
3.      Dapat membantu pemerintah serta penyuluh untuk memperbaiki pembangunan dan pemberdayaan masyarakat adat kampung Cireundeu.
E.     Kerangka Pemikiran
Masyarakat desa adalah masyarakat yang kehidupannya masih banyak dikuasai oleh adat istiadat lama. Adat istiadat adalah sesuatu aturan yang sudah mantap dan mencakup segala konsepsi sistem budaya yang mengatur tindakan atau perbuatan manusia dalam kehidupan sosial hidup bersama, bekerja sama dan berhubungan erat secara tahan lama, dengan sifat-sifat yang hampir seragam. Secara sosiologis ini merupakan proses sosial. Adat menjadi wujud dari proses sosial yang dibangun masyarakat desa.
Proses sosial adalah cara-cara berhubungan yang dilihat apabila orang-perorangan dan kelompok-kelompok sosial saling bertemu dan menentukan sistem serta bentu-bentuk hubungan tersebut atau apa yang akan terjadi apabila ada perubahan-perubahan yang menyebabkan goyahnya pola-pola kehidupan yang terlah ada. Proses sosial dapat diartikan sebagai pengaruh timbal-balik antara pelbagai segi kehidupan bersama, misalnya pengaruh-mempengaruhi antara sosial dengan politik, politik dengan ekonomi, ekonomi dengan hukum, dan seterusnya..
Interaksi sosial merupakan kunci dari semua kehidupan sosial, karena tanpa interaksi sosial tak akan mungkin ada kehidupan bersama. Bentuk umum proses sosial adalah interaksi sosial (yang juga dapat dinamakan sebagai proses sosial) karena interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia. Interaksi sosial antara kelompok-kelompok manusia terjadi anatara kelompok tersebut sebagai suatu kesatuan dan biasanya tidak menyangkut pribadi anggota-anggotanya.
Interaksi sosial antara kelompok-kelompok manusia terjadi pula di dalam masyarakat. Interaksi tersebut lebih mencolok ketika terjadi benturan antara kepentingan perorangan dengan kepentingan kelompok. Interaksi sosial hanya berlangsung antara pihak-pihak apabila terjadi reaksi terhadap dua belah pihak. Interaksi sosial tak akan mungkin teradi apabila manusia mengadakan hubungan yang langsung dengan sesuatu yang sama sekali tidak berpengaruh terhadap sistem syarafnya, sebagai akibat hubungan termaksud.
Interaksi sosial menjelaskan proses pembentukan nilai, norma, dan adat. Proses ini tak lepas dari pewarisan kelompok manusia atau masyarakat yang menjadi pendahulunya. Berlangsungnya suatu proses interaksi didasarkan pada pelbagai faktor (Soerjono Soekanto, 1987:37):
1.            Imitasi
Salah satu segi positifnya adalah bahwa imitasi dapat mendorong seseorang untuk mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku

2.            Sugesti
Faktor sugesti berlangsung apabila seseorang memberi suatu pandangan atau suatu sikap yang berasal dari dirinya yang kemudian diterima oleh pihak lain.
3.            Identifikasi
Identifikasi sebenarnya merupakan kecenderungan atau keinginan dalam diri seseorang untuk menjadi sama dengan pihak lain. Identifikasi sifatnya lebih mendalam daripada imitasi, karena kepribadian seseorang dapat terbentuk atas dasar proses ini.
4.            Proses simpati
Sebenarnya merupakan suatu proses dimana seseorang merasa tertarik pada pihak lain. Di dalam proses ini perasaan memegang peranan yang sangat penting, walaupun dorongan utama pada simpati adalah keinginan untuk memahami pihak lain dan untuk bekerja sama dengannya.
Bentuk sistem kekerabatan masyarakat desa merupakan refleksi dari bentuk-bentuk interaksi sosial dapat berupa kerja sama (cooperation), persaingan (competition), dan bahkan dapat juga berbentuk pertentangan atau pertikaian (conflict). Pertikaian mungkin akan mendapatkan suatu penyelesaian, namun penyelesaian tersebut hanya akan dapat diterima untuk sementara waktu, yang dinamakan akomodasi. Ini berarti kedua belah pihak belum tentu puas sepenunya. Suatu keadaan dapat dianggap sebagai bentuk keempat dari interaksi sosial. Keempat bentuk pokok dari interaksi sosial tersebut tidak perlu merupakan suatu kontinuitas, di dalam arti bahwa interaksi itu dimulai dengan kerja sama yang kemudian menjadi persaingan serta memuncak menjadi pertikaian untuk akhirnya sampai pada akomodasi.
Gillin dan Gillin (Robert K. Merton, 1964:71)mengadakan penggolongan yang lebih luas lagi. Menurut mereka, ada dua macam proses sosial yang timbul sebagai akibat adanya interaksi sosial :
1.            Proses-proses yang Asosiatif
a.       Kerja Sama (Cooperation)
Suatu usaha bersama antara orang perorangan atau kelompok manusia untuk mencapai suatu atau beberapa tujuan bersama. Bentuk kerja sama tersebut berkembang apabila orang dapat digerakan untuk mencapai suatu tujuan bersama dan harus ada kesadaran bahwa tujuan tersebut di kemudian hari mempunyai manfaat bagi semua. Juga harus ada iklim yang menyenangkan dalam pembagian kerja serta balas jasa yang akan diterima. Dalam perkembangan selanjutnya, keahlian-keahlian tertentu diperlukan bagi mereka yang bekerja sama supaya rencana kerja samanya dapat terlaksana dengan baik.
Kerja sama timbul karena orientasi orang-perorangan terhadap kelompoknya (yaitu in-group-nya) dan kelompok lainya (yang merupakan out-group-nya). Kerja sama akan bertambah kuat jika ada hal-hal yang menyinggung anggota/perorangan lainnya.
Fungsi Kerjasama digambarkan oleh Charles H.Cooley ”kerjasama timbul apabila orang menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama dan pada saat yang bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian terhadap diri sendiri untuk memenuhi kepentingan-kepentingan tersebut; kesadaran akan adanya kepentingan-kepentingan yang sama dan adanya organisasi merupakan fakta-fakta penting dalam kerjasama yang berguna”.
Dalam teori-teori sosiologi dapat dijumpai beberapa bentuk kerjasama yang biasa diberi nama kerja sama (cooperation). Kerjasama tersebut lebih lanjut dibedakan lagi dengan :
-        Kerjasama Spontan (Spontaneous Cooperation) : Kerjasama yang sertamerta.
-        Kerjasama Langsung (Directed Cooperation) : Kerjasama yang merupakan hasil perintah atasan atau penguasa.
-        Kerjasama Kontrak (Contractual Cooperation) : Kerjasama atas dasar tertentu.
-        Kerjasama Tradisional (Traditional Cooperation) : Kerjasama sebagai bagian atau unsur dari sistem sosial.
b.      Akomodasi (Accomodation)
Istilah Akomodasi dipergunakan dalam dua arti : menujukk pada suatu keadaan dan yntuk menujuk pada suatu proses. Akomodasi menunjuk pada keadaan, adanya suatu keseimbangan dalam interaksi antara orang-perorangan atau kelompok-kelompok manusia dalam kaitannya dengan norma-norma sosial dan nilai-nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat. Sebagai suatu proses akomodasi menunjuk pada usaha-usaha manusia untuk meredakan suatu pertentangan yaitu usaha-usaha manusia untuk mencapai kestabilan.
      Menurut Gillin dan Gillin, akomodasi adalah suatu perngertian yang digunakan oleh para sosiolog untuk menggambarkan suatu proses dalam hubungan-hubungan sosial yang sama artinya dengan adaptasi dalam biologi. Maksudnya, sebagai suatu proses dimana orang atau kelompok manusia yang mulanya saling bertentangan, mengadakan penyesuaian diri untuk mengatasi ketegangan-ketegangan. Akomodasi merupakan suatu cara untuk menyelesaikan pertentangan tanpa menghancurkan pihak lawan sehingga lawan tidak kehilangan kepribadiannya.
Tujuan Akomodasi dapat berbeda-beda sesuai dengan situasi yang dihadapinya, yaitu :
-        Untuk mengurangi pertentangan antara orang atau kelompok manusia sebagai akibat perbedaan paham
-        Mencegah meledaknya suatu pertentangan untuk sementara waktu atau secara temporer
-        Memungkinkan terjadinya kerjasama antara kelompok sosial yang hidupnya terpisah akibat faktor-faktor sosial psikologis dan kebudayaan, seperti yang dijumpai pada masyarakat yang mengenal sistem berkasta.
-        mengusahakan peleburan antara kelompok sosial yang terpisah.
c.       Asimilasi (Assimilation)
Asimilasi merupakan proses sosial dalam taraf lanjut. Ia ditandai dengan adanya usaha-usaha mengurangi perbedaan-perbedaan yang terdapat antara orang-perorangan atau kelompok-kelompok manusia dan juga meliputi usaha-usaha untuk mempertinggi kesatuan tindak, sikap, dan proses-proses mental dengan memerhatikan kepentingan dan tujuan bersama.
Proses Asimilasi timbul bila ada, kelompok-kelompok manusia yang berbeda kebudayaannya, orang-perorangan sebagai warga kelompok tadi saling bergaul secara langsung dan intensif untuk waktu yang lama sehingga kebudayaan-kebudayaan dari kelompok-kelompok manusia tersebut masing-masing berubah dan saling menyesuaikan diri.

2.            Proses Disosiatif
Proses disosiatif sering disebut sebagai oppositional proccesses, yang persis halnya dengan kerjasama, dapat ditemukan pada setiap masyarakat, walaupun bentuk dan arahnya ditentukan oleh kebudayaan dan sistem sosial masyarakat bersangkutan. Oposisi dapat diartikan sebagai cara berjuang melawan seseorang atau sekelompok manusia untuk mencapai tujuan tertentu. Pola-pola oposisi tersebut dinamakan juga sebagai perjuangan untuk tetap hidup (struggle for existence).
F.           Langkah-langkah Penelitian
1.            Metode Penelitian
Metode yang penulis gunakan dalam penyusunan penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif  yang sering disebut metode penelitian naturalistik karena penelitiannya dilakukan pada kondisi alamiah (natural setting) dan data yang terkumpul dianalisis lebih bersifat kualitatif. Secara lebih lengkap Sugiyono menjelaskan :”Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah,(sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrument kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitatif dan hasil penelitian lualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi (Hadisubroto,1988 : 221).  
2.            Teknik Pengumpulan Data
Instrumen ini tergantung dari jenis data dan dari mana data itu diperoleh. Adapun pengumpulan data dapat melalui hasil observasi, wawancara, studi literatur (pustaka) dan studi dokumentasi.

Peneliti terjun ke lapangan untuk mengumpulkan data dengan menggunakan beberapa teknik pengumpulan data, diantaranya : Observasi, Wawancara, dan Studi Pustaka.
a.             Observasi
Observasi merupakan alat yang sangat tepat dibutuhkan dalam mengadakan penelitian. Keuntungan yang diperoleh melalui observasi adalah adanya pengalaman yang mendalam, dimana peneliti berhubungan secara langsung dengan subjek penelitian. Secara intensif teknik observasi ini, digunakan untuk memperoleh data dilokasi penelitian. Observasi ini, dilakukan pada bulan apa, tahun berapa, melalui berbagai aktivitas. Kemudian melakukan pengamatan yang merupakan salah satu cara penelitian ilmiah pada ilmu-ilmu sosial. Cara ini bisa hemat biaya dan dapat dilakukan oleh seorang individu dengan menggunakan mata sebagai alat melihat data serta menilai keadaaan lingkungan yang dilihat (Wardi Bachtiar, 1999: 78).
b.            Wawancara
Melalui teknik wawancara data utama yang berupa ucapan, pikiran, perasaan, dan tindakan dalam penelitian akan lebih mudah diperoleh. Dalam hal ini, S.Nasution mengemukakan bahwa : “Dalam teknik  wawancara terkandung maksud untuk mengetahui apa yang ada dalam pikiran dan perasaan responden.
Untuk menghindari bias penelitian, peneliti tetap memiliki pedoman wawancara yang disesuaikan dengan sumber data yang hendak digali. Pedoman wawancara tersebut bersifat fleksibel, sewaktu-waktu dapat berubah sesuai dengan perkembangan data yang terjadi dilapangan. Namun, fleksibelitas tersebut tetap mengacu pada fokus penelitian, yaitu judul yang sedang diteliti. Terkadang antara peneliti dan responden menyepakati waktu untuk wawancara, atau secara spontan peneliti meminta penjelasan mengenai suatu peristiwa yang dipandang erat  kaitannya dengan penelitian yang diteliti.

c.             Studi Pustaka
Studi pustaka dipergunakan untuk mendapatkan teori-teori, konsep-konsep sebagai bahan pembanding, penguat atau penolak terhadap temuan hasil penelitian untuk mengambil pengetahuan (Subino Hadisubroto, 1982 : 28).
BAB II
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.     Sejarah masyarakat kampung Cireundeu
Kampung Cireundeu merupakan salah satu lokasi yang terletak dikelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan Kota Cimahi, hal ini berdasarkan Undang-undang No. 1 Tahun 2001 tentang Pembentukan Kota Cimahi. Kampung Cireundeu terletak diperbatasan kota Cimahi dengan Kabupaten Bandung Barat tepatnya dengan Kecamatan Batujajar.  Jarak dari kampung Cireundeu ke Kelurahan Leuwigajah --/+ 3 Km dan 4 Km ke kecamatan serta 6 Km ke kota atau Pemerintah Kota Cimahi, dengan keadaan topografi datar, bergelombang sampai berbukit. 
Kampung Cireundeu dikelilingi oleh gunung Gajah langu dan Gunung Jambul disebelah Utara, gunung Puncak Salam di sebelah Timur, Gunung Cimenteng di sebelah Selatan serta Pasir Panji, TPA dan Gunung Kunci disebelah Barat. Dari ketinggian Gunung gajah langu -/+ 890 meter dpl. Selayang pandang terlihat jelas panorama Kota Cimahi, Kota Madya Bandung dan Kabupaten Bandung yang berada pada cekungan dan hamparan telaga.
Kampung Cireundeu,  dimana dulu lebih dikenal dengan Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS) Leuwi Gajah, kita jangan berharap akan melihat pemandangan lahan sawah yang menghijau atau padi yang menguning, seolah ingin mengubur dalam-dalam peristiwa longsornya gunungan sampah tanggal 21 Februari 2005 yang merenggut 157 nyawa,  kini ditempat yang dulu gunungan sampah itu, kita akan banyak dimanjakan dengan pemandangan kebun singkong yang terbentang luas. Tempat ini adalah tempatnya masyarakat kita yang dinobatkan sebagai “Pahlawan Pangan” karena masyarakat disini makanan pokoknya bukan nasi tetapi singkong. 
 Kampung Cireundeu adalah sebuah bukit kecil yang dihuni oleh 50 KK atau 800 jiwa yang memiliki tradisi berbeda. Sebagian penduduk Cireundeu, sejak ratusan tahun silam (sejak tahun 1918), tidak pernah menggunakan beras lagi sebagai bahan makanan pokok. Masyarakat Kampung Cireundeu merupakan suatu komunitas adat kesundaan yang mampu memelihara, melestarikan adat istiadat secara turun temurun dan tidak terpengaruhi oleh budaya dari luar. Situasi kehidupan penuh kedamaian dan kerukunan “silih asah,  silih asih, silih asuh, tata, titi, duduga peryoga“. Mereka memegang teguh pepatah Karuhun Cireundeu, yaitu: “Teu nanaon teu boga huma ge asal boga pare. Teu nanaon teu boga pare gi asal boga beas  Teu nanaon teu boga bias ge asal bisa ngejo Teu nanaon teu bisa ngejo ge asal bisa nyatu. Teu nanaon teu bisa nyatu ge asal bisa hirup.”
Masyarakat Cireundeu menyebut diri mereka penganut Sunda Wiwitan, Sunda Wiwitan sendiri mengandung arti Sunda yang paling awal dan bagi mereka agama bukan sarana penyembahan namun sarana aplikasi dalam kehidupan, karena itu mereka memegang teguh tradisi dan jarang sekali ditemukan situs-situs penyembahan. Pangeran Haji Ali Madrais yang diakui sebagai nenek moyang masyarakat Cireundeu mungkin mendapat gelar Haji bukan karena dia benar-benar pergi memenuhi rukun Islam tetapi mendapat sebutan Haji karena dianggap sebagai pemimpin atau imam.
Aliran kepercayaan Sunda Wiwitan masih eksis bertahan dan memiliki penganut setia di Kampung Cireundeu. Namun dari segi keunikannya, warga kampung ini masih mengonsumsi singkong sebagai makanan pokok dan mayoritas masih menjalankan ajaran Pangeran Madrais dari Cigugur, Kuningan itu. Secara fisik Cireundeu memang kampung biasa, namun karena ketatnya menjalankan tradisi karuhun, kampung ini akhirnya dikukuhkan secara de facto sebagai kampung adat. Kepercayaan ini dikenal juga sebagai Cara Karuhun Urang (tradisi nenek moyang), agama Sunda Wiwitan, ajaran Madrais atau agama Cigugur.
Mereka percaya pada Tuhan, dan teguh menjaga kepercayaan serta menjaga jatidiri Sunda mereka agar tidak berubah. Falsafah hidup masyarakat Cireundeu belum banyak berubah sejak puluhan tahun lalu, dan mereka masih memegang ajaran moral tentang bagaimana membawa diri dalam hidup ini. Ritual 1 Sura yang rutin digelar sejak kala, merupakan salah satu simbol dari falsafah tersebut. Upacara suraan, demikian warga Cireundeu menyebutnya, memiliki makna yang dalam. Bahwa manusia itu harus memahami bila ia hidup berdampingan dengan mahluk hidup lainnya. Baik dengan lingkungan, tumbuhan, hewan, angin, laut, gunung, tanah, air, api, kayu, dan langit. “Karena itulah manusia harus mengenal dirinya sendiri, tahu apa yang dia rasakan untuk kemudian belajar merasakan apa yang orang lain dan mahluk hidup lain rasakan”. Selain itu masyarakat Cireundeu menghormati leluhur mereka dengan tidak memakan nasi melainkan singkong. Pangeran Madrais pernah berkata, jika orang Cireundeu tidak mau terkena bencana maka pantang makan nasi. Sekarang terbukti, dimana orang lain bingung memikirkan harga beras yang makin naik, warga sini adem ayem saja karena singkongnya pun hasil kebun sendiri.
            Kampung Cireundeu mempunyai filosofi kehidupan yang sangat unik, dimana nuansa hidup yang santun dalam nafas setiap insan warga kampung, mencintai lingkungan, budaya sunda dan kesenian khas masih terjaga dan terpelihara, sebagian masyarakatnya masih mempertahankan adat leluhurnya .
Masyarakat adat Kampung Cireundeu menganut kepercayaan tersendiri.  Penduduk kampung Cireundeu tersebut pada mulanya menggunakan beras sebagai makanan pokoknya.  Alasan beralih menjadi singkong sebagai makanan pokok karena pada masa penjajahan Belanda terjadi kekurangan pangan khususnya beras.  Oleh karenanya pengikut aliran kepercayaan tersebut diwajibkan berpuasa dengan cara mengganti nasi beras  dengan nasi singkong sampai waktu yang tidak terbatas.  Tujuan berpuasa adalah agar segera merdeka lahir dan bathin, menguji keyakinan  para penganut aliran kepercayaan serta agar mereka selalu ingat pada Tuhan  Yang Maha Esa. 
Beralihnya makanan pokok masyarakat adat kampung Cireundeu dari nasi beras menjadi nasi singkong dimulai kurang lebih tahun 1918, yang dipelopori oleh Ibu Omah Asmanah, putra Bapak Haji Ali yang kemudian diikuti oleh saudara-saudaranya di kampung Cireundeu.  Ibu Omah Asmanah mulai mengembangkan makanan pokok non beras ini, berkat kepeloporannya tersebut Pemerintah melalui Wedana Cimahi memberikan suatu penghargaan sebagai “ Pahlawan Pangan”, tepatnya pada tahun 1964.
Pada masa tugas Bupati Memed yang mempunyai perhatian besar terhadap makanan pokok singkong,  makanan pokok penduduk kampung Cireundeu tersebut sering diikutsertakan pada pameran-pameran makanan non beras yang mewakili Kabupaten Bandung.Salah satu tujuan diperkenalkannya berbagai jenis makanan yang terbuat dari singkong dan proses pembuatan nasi singkong adalah agar masyarakat pada umumnya tidak tergantung pada beras sebagai makanan pokok.
Selain tersebut diatas kearifan budaya lokal masih sangat kental yang selalu diterapkan dilingkungan masyarakat adat kampung Cireundeu.  Kepedulian dan kecintaannya terhadap alam dan lingkungan sekitar menjadi bagian dari kehidupan warga, sebagaimana petuah leluhurnya dalam rangka menjaga dan melestarikan alam dan lingkungan dalam bahasa sunda sebagai berikut : “ Gunung Kaian, Gawir Awian, Cinyusu Rumateun, Sampalan Kebonan, Pasir Talunan, Dataran Sawahan, Lebak Caian, Legok Balongan, Situ Pulasaraeun, Lembur Uruseun, Walungan Rawateun, jeung Basisir Jagaeun “.
Petuah leluhurnya dalam rangka menjaga dan melestarikan alam dan hutan dalam bahasa sunda sebagai berikut :  “Saha anu wani ngarempak jagat Pasundan leuweung kahiyangan isuk jaganing pageto pati kudu wani disanghareupan  Nu wani ngaguna sika leuweung saliara karamat tutupan hirup cadu mawa hurip, kaluhur ulah sirungan ka handap ulah akaran..Nu nisca kalakuan remen nigas pucuk linduh dinatangkal hirup teu maslahat hamo lana dipungkas nemahing ajal. Cahaya isun meting kawani titis galur siliwangi. Ya isun tajimalela nu rek ngajaga wana nepikeun ka pejah nyawa”. ( Kata-kata ini milik paguyuban silaturahmi warga kampung Cireundeu, dilindungi undang-undang  RI Nomor 12 tahun 1997 bab VI Ketentuan Pidana Pasal 44 ayat 1 dan 2).
B. Proses Sosial ( Interaksi Sosial ) dan kelompok-kelompok sosial pada masyarakat adat kampung Cireundeu.
            a. Proses Sosial
Proses sosial adalah cara-cara berhubungan yang dilihat apabila orang-perorangan dan kelompok-kelompok sosial saling bertemu dan menentukan sistem serta bentuk-bentuk hubungan tersebut atau apa yang akan terjadi apabila ada perubahan-perubahan yang menyebabkan goyahnya pola-pola kehidupan yang telah ada. Proses sosial dapat diartikan sebagai pengaruh timbal-balik antara berbagai segi kehidupan bersama, misalnya pengaruh-mempengaruhi antara sosial dengan politik, politik dengan ekonomi, ekonomi dengan hukum, dst.
            Bentuk umum proses sosial adalah interaksi sosial(yang juga dapat dinamakan sebagai proses sosial) karena interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia.[1] Interaksi sosial antara kelompok-kelompok manusia terjadi antara kelompok tersebut sebagai suatu kesatuan dan biasanya tidak menyangkut pribadi anggota-anggotanya.
            Interaksi sosial merupakan kunci dari semua kehidupan sosial, karena tanpa interkasi sosial tak akan mungkin ada kehidupan bersama. Demikian pula yang terjadi pada masyarakat kampung Cireundeu dalam menciptakan nuansa hidup yang santun, mencintai lingkungan, dan mencintai serta memelihara kesenian dan budaya Sunda.
            Berdasarkan hasil penelitian, Masyarakat Kampung Adat Cireundeu memiliki keadaan sosial yang terbuka dengan masyarakat di luar kampung. Sehingga interaksi social yang terjadi di Kampung Cireundeu berlangsung dengan sangat terbuka. Dapat dikatakan mereka merupakan masyarakat kampung adat yang fleksibel. Berbeda dengan Interaksi sosial di kampung-kampung adat lainnya yang notabene sangat tertutup dan dengan keras menolak masuknya teknologi modern ke kampung mereka, misalnya saja interaksi social pada masyarakat Kampung Dukuh, Kampung Naga, Kampung Pulo, dan sebagainya.
            Lain halnya dengan masyarakat kampung Cireundeu, meskipun mereka dinobatkan sebagai salah satu kampung adat yang ada di Jawa Barat, tetapi mereka tidak menutup diri dari perkembangan teknologi yang sangat pesat sekarang ini. Dalam batasan-batasan tertentu mereka  secara terbuka menerima teknologi di tengah-tengah kehidupannya, tanpa melupakan adat para leluhurnya. Bagi mereka menjaga apa yang telah diwariskan oleh para leluhurnya, bukan berarti tidak boleh bergaul dengan yang lainnya. Apalagi sampai menutup diri dari perkembangan Zaman.
            Salah satu faktor utama yang menyebabkan adanya sikap keterbukaan tersebut yaitu, letak kampung Cireundeu itu sendiri yang tidak jauh dari Kota tepat nya di perbatasan kota cimahi. Sehingga arus modernisasi dari kota dapat dengan mudah masuk ke kampung mereka. Adapun bukti dari sikap keterbukaan mereka terhadap kemajuan teknologi dapat terlihat dalam beberapa fakta yang kami temukan di lapangan sebagai berikut:
1.      Bentuk bangunan rumah yang permanen dengan bentuk dan ukuran yang tidak sama. Sehingga memberikan kesan pertama terhadap pengunjung bahwa suasana Kampung Cireundeu tidak seperti kampung adat lainnya, melainkan seperti perkampungan biasa.
2.      Cara berpakaiannya rapi dan modis.
3.      Alat-alat rumah tangga yang digunakan sudah modern, seperti kompor gas, dispenser, kulkas, dan lain-lain.
4.      Alat-alat komunikasi dan telekomunikasi yang digunakan berupa Televisi(TV), Handphone(HP), Radio, dan lain-lain.
5.      Kepandaian masyarakat Cireundeu dalam mengolah singkong, mereka peroleh dari keterbukaan dan keantusiasan mereka dalam menerima dan mengikuti pelatihan-pelatihan yang diadakan oleh mahasiswa-mahasiswa yang sedang melakukan penelitian, dan lain-lain. Sehigga Masyarakat Kampung Cireundeu dapat memanfaatkan singkong mulai dari akarnya hingga daunnya, seperti akarnya dapat diolah menjadi rasi (beras singkong), ranggening, opak, kecimpring, peyeum atau tape, dan aneka kue berbahan dasar singkong (seperti kue keju, kue lidah kucing, egg rolls, dan sebagainya). Batangnya dapat dimanfaatkan menjadi bibit, daunya dapat di jadikan lalapan atau disayur juga dapat dijadikan makanan ternak. Terakhir kulitnya dapat dibuat menjadi makanan olahan, biasanya dijadikan sayur lodeh atau dendeng kulit singkong. Selain untuk dikonsumsi sendiri hasilnya juga dapat dijual pada wisatawan sebagai buah tangan yang memiliki nilai jual yang tinggi.
6.      Alat-alat yang digunakan dalam proses pengolahan singkong sudah menggunakan mesin yang canggih, terutama alat yang digunakan dalam pembuatan Rasi (Beras Singkong).
7.      Kemasan dan label/merk olahan-olahan tersebut sudah ditulis dengan menggunakan computer.
8.      Pendidikan rata-rata masyarakat Cireundeu adalah SMP dan sebagian ada juga yang Sarjana.
9.      Para anak mudanya sudah mengenal internet.
10.   Pernikahan bisa dilakukan dengan warga daerah manapun. Tidak harus selalu dilakukan dengan warga kampung setempat.
            Pemaparan diatas, merupakan bukti-bukti keterbukaan interaksi social masyarakat cireundeu, khususnya interaksi social yang terjadi antara masyarakat Cireundeu dengan masyarakat luar.
            Adapun Interaksi social yang terjadi antar warga masyarakat Cireundeu berlangsung secara harmonis dengan penataan wilayah yang sangat nyaman, aman dan damai. Mereka saling memperhatikan satu sama lain khususnya dalam masalah kesejahteraan. Sehingga masyarakat Cireundeu tidak pernah ada yang mengalami kelaparan. Disamping mereka memiliki solidaritas yang tinggi terhadap sesama, mereka juga memiliki lahan garapan masing-masing yang ditanami singkong sebagai makanan pokok mereka. Pilihan terhadap singkong bukan karena mereka tidak bisa menanam padi atau membeli beras, tetapi mereka ingin meneruskan kearifan lokal yang diwariskan secara turun-temurun dari nenek moyang mereka.Keteguhan masyarakat Cireundeu untuk mempertahankan kearifan lokal itu mendapat sorotan dari Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian. "Masyarakat di Kampung Cirendeu bisa menjadi bukti bahwa tanpa beras masyarakat masih bisa bertahan hidup," ujar Kepala Pusat Konsumsi dan Keamanan Pangan BKP Mulyono Machmur. Alhasil,  dari keteguhan mereka dalam mempertahankan kearifan local tersebut ketika sebagian besar masyarakat Tanah Air kelimpungan akibat kenaikan harga beras, masyarakat Cirendeu justru tenang-tenang saja. Harga beras yang melambung tinggi memengaruhi kehidupan mereka yang dalam kesehariannya terbiasa mengonsumsi singkong sebagai bahan makanan pokok.
b.      Kelompok-Kelompok Sosial
            Seperti yang kita ketahui, Manusia pada umumnya dilahirkan seorang diri, akan tetapi dia adalah makhluk yang telah mempunyai naluri untuk hidup dengan manusia lain. Sejak dilahirkan manusia sudah mempunyai dua hasrat atau keinginan pokok yaitu:[2]
1.      keinginan untuk menjadi satu dengan manusia lain disekelilingnya (yaitu masyarakat)
2.      keinginan untuk menjadi satu dengan suasana alam sekelilingnya.
            untuk dapat menghadapi dan menyesuaikan diri dengan kedua lingkungan tersebut di atas, manusia menggunakan pikiran, perasaan dan kehendaknya. Pada akhirnya, terbentuklah kelompok-kelompok social atau social-group di dalam kehidupan manusia ini. Kelompok-kelompok social tersebut merupakan himpunan atau kesatuan-kesatuan manusia yang hidup bersama. Hubungan tersebut antara lain menyakut kaitan timbal-balik yang mempengaruhi dan suatu kesadaran untuk saling tolong menolong.
      Kelompok sosial mempunyai beberapa syarat antara lain:[3]
a.       Setiap anggota kelompok harus sadar bahwa dia merupakan sebagian dari kelompok yang  
bersangkutan.
b.      Ada hubungan timbal-balik antara anggota yang satu dengan anggota yang lainnya.
c.       Ada suatu faktor yang dimiliki bersama oleh anggota kelompok itu, sehingga hubungan antara mereka bertambah erat. faktor tadi dapat merupakan nasib, kepentingan yang sama, tujuan yang sama, ideology politik yang sama dan lain-lain. Tentunya factor mempunyai musuh bersam misalnya, dapat pula menjadi faltor pengikat atau pemersatu.
d.      Berstruktur, berkaidah dan mempunyai pola perilaku.
e.       Bersistem dan berproses. 
            Sepertihalnya manusia yang lainnya, masyarakat Cireundeu menggunakan pikiran, perasaan, dan kehendaknya untuk saling mempengaruhi dan saling tolong-menolong. Dalam kehidupan socialnya Masyarakat kampung Cireundeu yang mayoritas penduduknya bermata pencaharian bertani singkong dan umbi-umbian, mereka membentuk kelompok-kelompok social berupa Kelompok Ternak dan Kelompok Tani yang memenuhi beberapa persyaratan kelompok social seperti yang telah disebutkan di atas.
            Supaya lebih jelas, alangkah lebih baiknya jika kita mengenali kelompok-kelompok social di kampung Cireundeu dari beberapa aspek sebagai berikut:
1.        Sebab dan Proses Pembentukan Kelompok
Faktor penyebab dibentuknya kelompok ternak dan kelompok tani pada masyarakat kampung Cireundeu yaitu sebagai salah satu alat pemersatu bagi masyarakat supaya mereka tidak menuruti kehendak masing-masing. Sehingga dapat mencegah terjadinya konflik social. selain itu juga supaya proses kegiatan bertani dan berternak menjadi berkesinambungan, terkontrol dan termenej dengan baik. Baik dalam segi pemasaran, modal, pembagian kerja dan pembagian hasil.
Sedangkan mengenai proses pembentukan kelompok social tersebut, dibentuk melalui kesepakatan bersama atau musyawarah. Dalam musyawarah tersebut ditentukan struktur kepengurusan mulai dari ketua, sekretaris, bendahara, seksi kesehatan, dan seksi pemasaran.     
Adapun struktur kepengurusan Kelompok Ternak dan Kelompok Tani masyarakat kampung Cireundeu adalah sebagai berikut:  
Susunan Pengurus Kelompok Ternak Makmur Kampung Cireundeu





KETUA
Asep Wardiman


















            SEKRETARIS                                                                                   BENDAHARA
                 Sudrajat                                                                                                  Widia


















     SEKSI KESEHATAN                                                                        SEKSI PEMASARAN
          Atang dan Dede                                                                                        Tatang










PETERNAK DOMBA

Susunan Pengurus Kelompok Tani Ubi Kayu Kampung Cireundeu





KETUA
Asep Wardiman






            BLOK CIMENTENG                                                                      BLOK PUNCAK SALAM
                        Atang                                                                                                 Kanda











                  SERETARIS                                                                                       BENDAHARA
                      Sudrajat                                                                                                   Widia



















            SEKSI KESEHATAN                                                                           SEKSI PEMASARAN
                         Atang                                                                                                     Tatang








PETANI UBI KAYU


2.      Cara Berinteraksi Antar Kelompok Dan Lingkungannya
Interaksi social yang terjadi antar kelompok (Kelompok Tani dan Kelompok Ternak) masyarakat kampung Cireundeu berlangsung melalui proses yang asosiatif berupa Kerjasama (Cooperation).
            Kerjasama berarti bekerja bersama-sama untuk mencapai tujuan yang sama. Ia adalah suatu proses social yang paling dasar. Dimana Kerjasama dapat atau tidak melibatkan pembagian berbagai jenis tugas.[4] Kerjasama juga dapat diartikan sebagai suatu usaha bersama antara orang perorangan atau kelompok manusia untuk mencapai suatu atau beberapa tujuan bersama.

            Adapun fungsi dari kerjasama tersebut  digambarkan oleh Charles H.Cooley sebagai berikut:
            ”kerjasama timbul apabila orang menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama dan pada saat yang bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian terhadap diri sendiri untuk memenuhi kepentingan-kepentingan tersebut; kesadaran akan adanya kepentingan-kepentingan yang sama dan adanya organisasi merupakan fakta-fakta penting dalam kerjasama yang berguna”.[5]
            Seperti halnya dengan kelompok ternak dan kelompok Tani pada masyarakat Cirundeu, kelompok di bentuk untuk mencapai tujuan bersama yaitu kesejahteraan dengan melakukan kejasama. Kerjasama tersebut terlihat dari kekompakan masyarakat Cireundeu dalam menggarap lahan garapan serta dalam mengurus hewan ternaknya. Mereka mencangkul, menanam, memupuk dan memanen hasil pertaniannya bersama-sama dengan hasil panen di bagi secara merata. Supaya setiap bulan dapat memanen singkong, maka pola tanam disesuaikan dengan usai panen. Selain memiliki tanah garapan secara berkelompok, setiap masyarakat juga memiliki 3 hingga 5 petak kebun singkong yang berbeda-beda masa tanamnya. Setiap petak kebun dibuat berbeda masa tanamnya, sehingga pada tiap petaknya akan berbeda masa panennya. Maka sepanjang tahun ladang mereka selalu menghasilkan singkong.
            Jika pagi harinya mereka berangkat ke kebun dengan membawa pupuk organic dari kandang ternak, maka sore hari sepulangnya mereka dari kebun, mereka membawa rumput untuk pakan ternak. Hewan ternak di jual setiap satu tahun sekali setiap tanggal 10 Dzulhijah tepatnya pada hari raya Idul Adha. Sama halnya dengan hasil panen, hasil ternak juga dibagi secara merata.
C.    Norma, Adat-Istiadat, dan Budaya
Setiap tindakan manusia dalam bermasyarakat selalu mengikuti pola-pola perilaku atau norma-norma yang ada di dalam masayarakat tersebut. Pola-pola perilaku atau tindakan masyarakat yang hidup secara bersama akan menghasilkan suatu kebudayaan. Kebudayaan ini di dalamnya terdapat kaidah atau norma-norma kebudayaan, adat istiadat, serta budaya khas yang selalu ditonjolkannya. Dengan demikian tidak ada masyarakat yang tidak mempunyai kebudayaan, dan sebaliknya tidak ada kebudayaan tanpa masyarakat sebagai wadah dan pendukungnya. Dan tentunya kebudayaan pada suatu wilayah akan berbeda dengan kebudayaan wilayah lainnya, yang memiliki keunikan serta ciri khas dari budaya tersebut.
Kebudayaan terdiri dari segala hal yang dipelajari dari pola-pola yang normatif, artinya mencakup segala cara-cara atau pola-pola berfikir, merasakan, dan bertindak. Di dalam masyarakat pun tidak terlepas dari adat istiadat atau kebiasaan yang sudah menjelma di dalam suatu masyarakat, terutama dalam masyarakat adat. Menurut Herskovits kebudayaan yang dimiliki suatu masyarakat merupakan sesuatu yang super organic, karena kebudayaan yang turun temurun dari generasi ke generasi tetap hidup terus (Soerdjono, 2004:172-173). Hal tersebut sangat berkaitan dengan adat istiadat, kaidah-kaidah normatif, dan kebudayaan yang ada pada masayarakat adat Kp.Cireundeu.
Dalam konsep pada masyarakat adat Kp.Cireundeu ini sangat berbeda dengan masyarakat adat lainnya yang kuat dengan banyaknya adat istiadat yang sudah ditentukan dan mutlak harus dilakukan dan tidak boleh tidak. Norma atau kaidah-kaidah yang terdapat dalam adat-istiadat pada masyarakat adat ini dalam bertingkah-laku atau bertindak sebenaranya tidak terpaku pada aturan atau norma yang tertulis secara khusus, akan tetapi bersifat tidak tertulis dan dipelihara secara turun-temurun. Masyarakat hanya mengikuti tindakan yang dilakukan nenek moyang terdahulu dalam kebiasan-kebiasaannya yang terpacu pada adat atau kebiasaan dalam hal masalah pangan, yaitu mengenai makanan pokok.
Masyarakat adat ini dalam kehidupan sehari-harinya betul-betul menerapkan tatakrama kehidupan bermasyarakat dengan prinsip silih asah, silih asih, silih asuh, tata, titi, duduga peryoga”, dengan menjunjung rasa kekeluargaan yang dimulai dengan saling mengenal satu sama lain, kemudian saling mengasihi/menyayangi, dan berlanjut dengan saling menjaga/memelihara, saling menata juga saling membutuhkan/membantu sehingga tercipta masyarakat adat yang “akur, rukun, repeh, rapih, sareng sasama hirup”.
Mereka semua hidup berdampingan, bahkan kesan kebersamaan dan gotong royongnya sangat kuat dibandingkan dengan kawasan lain sekitarnya. Mereka tidak hidup individulistis juga tak mengenal kata perorangan, saling membantu satu sama lain yang mereka prioritaskan. Hal tersebut menjadikan situasi kehidupan penuh kedamaian dan kerukunan betul-betul terjelma di kampung yang nan jauh dari keramaian kota.
Kehidupan masyarakat adat ini sangat bergantung pada empat unsur kehidupan yang sangat berharga dan penting dalam kehidupan mereka. Empat unsur ini dilambangkan dengan empat warna sunda, yaitu Merah yang berarti api, Hitam yang berarti tanah, Putih yang berarti air, dan Kuning yang berarti angin. Unsur-unsur ini mereka yakini sebagai sumber kehidupan yang tidak akan pernah hilang.
Masyarakat Kampung Cireundeu merupakan suatu komunitas adat kesundaan yang mampu memelihara serta melestarikan adat istiadat secara turun temurun. Sedangkan kebiasaan unik dan dicakap kemungkinan adalah diwajibkannya semua warga kampung Cireundeu penganut budaya pasundan untuk bisa menulis dan paham huruf aksara sunda dan untuk itu, semua itu harus selalu ada pelajaran  aksara sunda dan setiap hari selalu ada pelajaran aksara sunda yang diajarkan kepada anak-anak. Menurutnya urang sunda adatna kudu sunda” Urang Teh Ulah Cul Dogdog Tinggal Igel, Jati Kasilih Kujunti“, yang artinya kita jangan sampai terpengaruhi oleh budaya luar, sementara budaya sendiri dilupakan. Orang Sunda harus berperilaku orang sunda,  harus bisa aksara Sunda, adatnya pun seharusnya adat sunda.
Adat-istiadat lainnya dalam masyarakat adat Kp. Cireundeu ini yang sangat termasyhur/terkenal dan tidak kalah unik dengan masyarakat adat lainnya, yaitu dalam hal masalah pangan yang menjadi khas makanan pokok masyarakat adat Cireundeu ini yaitu ubi kayu (singkong) yang diolah menjadi “Rasi” (beras singkong). Bahan dasar singkong ini juga diolah oleh warga menjadi berbagai macam makanan yang dapat dikonsumsi juga dapat menghasilkan sumber ekonomi untuk masyarakat adat ini. Selain itu masyarkat adat kampung Cireundeu ini berpedoman pada prinsip hidup yang mereka anut yaitu: “Teu Nyawah asal boga Pare, Teu boga Pare asal Boga Beas, teu boga Beas asal bisa Nyangu, teu Nyangu asala Dahar, teu dahar asal Kuat” yang maksudnya adalah tidak punya sawah asal punya beras, tidak punya beras asal dapat menanak nasi, tidak punya nasi asal makan, tidak makan asal kuat. Memohon kekuatan hanya kepada yang Maha Memiliki, yaitu Tuhan Yang Maha Esa.
Sejak zaman nenek moyang (karuhun) setelah menghilangkan tradisi memakan nasi beras dan mulai tercatat pada Tahun 1918, masyarakat disana sudah mengkonsumsi ubi kayu (singkong) sebagai makanan pokok serta mampu melakukan keanekaragaman pengolahan hasil dari ubi kayu tersebut, diantaranya dapat dibuat, Peuyeum / tape yang bentuknya sama dengan beras ketan, Keripik singkong, Rangginang, Bugis, Awug ,Beras Singkong (Rasi), dan lain-lain.
Makanan-makanan tersebut biasanya diolah oleh para ibu masyarakat adat. Karena disana ibu-ibu selain hanya diam dirumah juga sebagai pengrajin makanan yang terbuat dari ubi kayu (singkong), sedangkan para bapak/suami pergi ke gunung untuk bertani juga beternak. Pada awalnya masyarakat adat ini terbiasa memakan nasi beras, tetapi sejak tahun 1918 masayarakat ini merubah makanan pokoknya menjadi beras singkong hingga sekarang. Karena menurutnya singkong lebih mudah ditanam dan dihasilkan di daerahnya yang sangat subur, sehingga tidak akan merasa kekurangan makanan dibandingkan dengan nasi beras. Dengan kondisi tersebut, mereka merasa hidup lebih tentram tanpa terpengaruhi oleh krisis ekonomi negara yang tidak stabil. Selain itu, sumber makanan pokok selalu tersedia serta mereka yang berada disana tidak pernah merasa kelaparan.
Adapun aturan dalam memproduksi singkong ini harus ditanam pada lahan yang sudah tersedia dan ditentukan. Lahan yang terdapat dihutan tersebut terdiri dari lahan garapan/produktif dan lahan larangan. Lahan garapan/produktif inilah yang digunakan masyarakat untuk bercocok tanam terutama ubi kayu (singkong) sebagai bahan pokok yang utama. Sedangkan lahan larangan merupakan penyeimbang lahan dan tidak boleh ditanam oleh apapun, hal ini juga guna untuk menghindari bahaya longsor ke pemukiman warga.
Adat istiadat ini terutama penghayatan sunda pasundan yang menjadikan ubi kayu (singkong) sebagai makanan pokok utama merupakan warisan yang diturunkan turun-temurun oleh nenek moyang terdahulu yang tidak boleh hilang meskipun Kp.Cireundeu ini berada ditengah-tengah kota Cimahi yang sudah tergerus dengan kebudayaan luar.
 Sebenarnya hal tersebut merupakan paksaan atau keharusan tetapi ada kata-kata leluhur yang memang dipegang kuat oleh keturunannya. Kata-kata itu adalah “ Dipigawe Bakal Ngaraksuk, Dilanggar Bakal Ngaruksak”. Oleh karena itu meskipun masyarakat adat Cireundeu ini kehidupannya sudah modern, tetapi tidak pernah meninggalkan atau menghilangkan adat-istiadat yang diwariskan nenek moyangnya terdahulu, artinya adat-istiadatnya tetap dipertahankan serta mengikuti perkembangan zaman yang dapat disebut “ciri wanci, cara wangsa”.
Disamping itu terdapat pula warga pendatang ke masyarakat adat tersebut, terutama dalam hal perkawinan dengan orang luar tetapi masih keturunan masyarakat adat. Mereka para pendatang harus bisa beradaptasi dengan masyarakat yang memiliki adat dan kebiasaan yang terdapat di masyarakat cireundeu. Pendatang yang memiliki kebiasaan makan nasi beras, berusaha untuk mengikuti kebiasaan masyarakat cireundeu makan rasi (beras singkong), hal ini bertujuan menghargai kebiasaan atau adat-istiadat nenek moyang terdahulu. Akan tetapi, dengan adanya perkembangan zaman tidak dapat dipungkiri masih ada yang tidak memakan rasi, mereka tetap memakan nasi beras. Orang tersebut termasuk pada masyarakat biasa, dan bukan sebagai masyarakat adat. Hal ini menjadikan tidak adanya paksaan dalam mengkonsumsi makanan pokok, baik itu rasi atau nasi beras.
Kebudayaan memiliki fungsi yang sangat besar bagi masyarakat, terutama bagi masyarakat Cireundeu ini. Ada satu hal yang menjadi tradisi kebudayaan juga sebagai adat-istiadat yang dilakukan oleh masyarakat adat ini dalam hal bidang sprititual yang sangat sakral, yaitu  adat “Tutup taun ngemban Taun 1 Sura Saka Sunda”, artinya menutup tahun lalu dan menyambut tahun baru Saka Sunda (Muharraman). Tradisi ini dilakukan setiap 1 tahun sekali tepatnya pada tanggal 1 Sura.
Acara ini berupa syukuran yang selalu dilaksanakan di tempat pertemuan yang disebut “Bale Pertemuan” pada malam minggu, karena biasanya pada malam minggu ini semua warga selalu berkumpul bersama (diskusi, memainkan alat kesenian) di Bale tersebut hingga pagi. Acara pada penutupan tahun yang lalu dan penyambutan tahun baru Saka Sunda itu dilakukan adat sungkeman kepada sesepuh adat, tokoh-tokoh adat, dan dilanjutkan kepada warga-warga yang lainnya. Kemudian pada tanggal 22 Sura dilanjutkan acara penutupan yang berupa acara hiburan-hiburan, diantaranya kesenian Karinding, Celempung, Kecapi Suling, Gondang, dan sebagainya yang diiringi anak-anak atau warga yang menyumbangkan suaranya untuk bernyanyi sunda. Hal ini terbiasa dilakukan para warga masyarakat adat Cireundeu dalam menutup tahun yang lalu dan menyambut tahun baru Saka Sunda setiap satu tahun sekali.
D.    Lembaga-Lembaga Sosial serta Organisasi
Lembaga kemasyarakatan merupakan terjemahan langsung dari istilah asing sosial- institution. Diantara para ahli sosiologi, belum ada kata sepakat perihal istilah Indonesia yang tepat untuk social institutions. Beberapa istilah telah dikemukakan antara lain “pranata social” dan “bangunan social” dalam tulisan ini dipakai istilah “lembaga kemasyarakatan” oleh karena istilah ini lebih menunjuk suatu bentuk dan sekaligus juga mengandung pengertian-pengertian yang abstrak prihal adanya norma-norma dan peraturan-peraturan tertentu yang menjadi lembaga tersebut.
Lembaga kemasyarakatan ialah himpunan norma-norma dari segala tingkatan yang berkisar pada kebutuhan pokok didalam kehidupan masyarakat.
Didalam urayan-uranyan yang lalu, di singgung perihal norma-norma masyarakat yang mengatur pergaulan hidupndengan tujuan untuk mencapai suatu tata tertib. Norma-norma tersebut, apabila di wujudkan ke dalam hubungan antar manusia, dinamakan social-organizationn(organisasi sosial). Di dalam perkembangan selanjutnya, norma-norma tersebut berkelompok-kelompok pada berbagai keperluan pokok kehidupan manusia.
Seorang sosiolog , yaitu Sumner yang melihatnya dari sudut kebudayaan, mengartikan lembaga kemasyarakatan sebagai perbuatan, cicta-cita, sikap dan perlengkapan kebudayaan, bersifat kekal setra bertujuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Pentingnya adalah agar keteraturan dan integrasi dalam masyarakat.
Keadan ini menginpirasi penulis terhadap kearipan yang terjadi di masyarakat Cirendeu yang berlokasi di daerah cimahi, suatu kelembagaan yang terjadi sesuai dengan fungsi-fungsi dari suatu lembaga kemasyarakatan yang bisa di uraikan sebagai berikut :
1.      Pedoman dalam bertingkah laku dalam menghadapi masalah dalam masyarakat,
terutama dalam menyangkut kebutuhan pokok.
2.      Menjaga keutuhan masyarakat.
3.      Merupakan pedoman sistem pengendalian sosial di masyarakat.
Bertapa pentingnya penelitian terhadap lembaga kemasyarakatan sebagaimana penelitian yang kami lakuakan di kampung Cirendeu RW 10 terletak di Cimahi Selatan, Jawa Barat. Kami melakukan penelitian dengan cara atau metode-metode yang para ahli lakukan terdahulu, yaitu sebagai berikut : (a) Analisis secara historis, (b) Analisis kompratif, (c) Analisis fungsional.
a.    Lembaga Kemasyarakatan (Klompok Masyarakat) Yang Terjadi di Kampung Cirendeu RW   
    10 terletak di Cimahi Selatan, Jawa Barat.
-          Kelompok Adat
·         Sesepuh
·         Ais pangampih
·         Pangintren
-          Kelompok Pemerintah Daerah
·         RT
·         RW
-          Kelompok Bertani
·         Kelompok Bertani yang berkelompok
·         Kelompok bertani individu
-          Kelompok Berternak
·         Kelompok Berternak kelompok
·         Kelompok Berternak Individu
-          Kelompok ibu-ibu Kreatif
·         Olahan kue atau makanan dari singkong
Suatu masyarakat adat tentunya membutuhkan suatu lembaga untuk menjadi integrasi dalam kelompok masyarakat adat.
-          Kelompok Kesenian
b.    Proses Pertumbuhan Lembaga Kemasyarakatan Yang Terjadi di Kampung Cirendeu RW 10   
     terletak di Cimahi Selatan, Jawa Barat.
1.      Norma-norma masyarakat Yang Terjadi di Kampung Cirendeu RW 10 terletak di Cimahi Selatan, Jawa Barat.
Norma-norma yang ada di dalam masyarakat mempunyai kekuatan mengikat yang berbeda-beda. Ada norma yang lemah, yang sedang sampai yang terkuat daya ikatnya.
 Ada empat pengertian norma yang memberikan pedoman bagi seseorang untuk bertingkah laku dalam masyarakat yaitu :
a.       Cara (usage) menunjuk pada suatu bentuk perbuatan.
b.      Kebiasaan (folkways) adalah perbuatan yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama.
c.       Tata kelakuan (mores) merupakan kebiasaan yang dianggap sebagai cara berperilaku dan diterima norma-norma pengatur.
d.      Adat Istiadat (customs) adalah tata kelakuan yang kekal serta kuat integrasinya dengan pola-pola perilaku masyarakat. Ada sanksi penderitaan bila dilanggar.
Masyarakat Cirendeu merupakan masyarakat yang berpegang teguh terhadap leluhur terdahulunya dalam bentuk ideologi bersama dan mengeluarkan kebersamaan yang mampu meredam konflik di dalamnya. Norma-norma yang ada berfungsi dengan baik sebagai pengawas dari letak geografis maupun tata tingkah laku dan lain sebagainya.
2.    Sosial Control di Kampung Cirendeu RW 10 terletak di Cimahi Selatan, Jawa Barat.
Arti sesungguhnya pengendalian sosial jauh lebih luas, karena pada pengertian tersebut tercakup segala proses, baik yang di rencanakan maupun tidak, yang bersipat mendidik, mengajak, atau bahkan menaksa warga-warga masyarakat mematuhi kaidah-kaidah dan nilai sosial yang berlaku.
            Jadi pengendalian sosial dapat di lakukan oleh individu terhadap individu lainya. Seperti yang terjadi di Kampung  Cireundeu RT 10 yang tetap percaya terhadap nilai-nilai yang sudah ada sejak dulu oleh para nenek moyangnya) atau mingkin dilakukan oleh individu terhadap suatu kelompok sosial (misalnya para pendahulu Kampung Cirendeu RT 10 yang memilah-milah makanan yang cocok untuk di konsumsi anak cucunya sampe sekarang di tentukanlah makanan tersebut yaitu singkong sebagai pengganti nasi). Itu semuanya merupakan proses pengendalian sosial yang dapat terjadi dalam kehidupan sehari-hari, walau sering kali manusia tidak menyadari.
            Ada empat pengertian norma (dimana dasar norma tersebut sama, yaitu memberikan pedoman bagi seseorang untuk bertingkah laku dalam masyarakat), yaitu :
1.      Cara (Usage) menunjuk pada suatu bentuk perbuatan
2.      Kebiasaan (folkways) adalah bentuk yang di ulang-ulang dalam bentuk yang sama.
3.      Tata Kelakuaan (Mores) merupakan kebiasaan yang di anggap sebagai cara berprilaku dan diterima norma-norma pengatur.
4.      Adat istiadat (Customs) adalah tat kelakuan yang kekel serta kuat integrasinya dengan pola-pola prilaku masyarakat. Ada sangsi penderitaan bila di langgar
            Proses yang terjadi di Kampung Cirendeu RT 10 dalam rangka pembentukannya sebagai lembaga kemasyarakatan, yaitu sebagai berikut :
1.      Proses pelembagaan (intitutionalizion),yakni suatu proses yang di lewati oleh sesuatu norma masyarakat yang baru untuk memjadi bagian dari sala-satu lembaga kemasyarakatan .
2.      Norma-norma yang (Internalizition) artinya proses norma-norma kemasyarakatan tidak hanya berhenti sampai pelembagaan saja, tetapi mendarah daging dalam jiwa anggota-anggota masyarakat.
Agar Anggota Masyarakat Kampung Cirendeu RT 10 tetap taat pada norma yang berlaku, di ciptakan sistem pengendalian sosial, yang bersifat :
1.      Preventif/positif
2.      Represif/negatif
Dengan demikian, pengendalian sosial yang terjadi di Kampung Cirendeu RT 10 terutama bertujuan untuk mencapai keserasian antara stabilitas dengan perubahan-perubahan dalam masyarakatnya. Atau, suatu sistem pengendalian sosial bertujuan untuk mencapai keadaan damai melalui keserasian antara kepastian dengan keadilan /keseimbangan.
c.    Ciri-ciri Umum dan Tipe Lembaga Kemasyarakatan di Kampung Cirendeu RW 10 terletak di   
    Cimahi Selatan, Jawa Barat.
Sebagaimana telah diuraikan oleh Soerjono Soekanto ciri-ciri umum daripada lembaga social yaitu :
1.      Suatu lembaga kemasyarakatan adalah suatu organisasi dari pada pola-pola pemikiran dan pola-pola perikelakuan yang terwujud melelui aktivitas-aktivitas kemasyarakatan dan hasilhasilnya.
Lembaga kemasyarakatan terdiri dari unsur-unsur kebudayaan lainnya yang secara
langsung maupun tidak langsung tergabung dalam satu unit yang fungsional.
2.      Suatu tingkat kekekalan tertentu merupakan ciri dari semua lembaga kemasyarakatan. Sistem-sistem kepercayaan dan aneka macam tindakan, baru menjadi bagian lembaga kemasyarakatan. Setelah melewati waktu yang relatif lama. Misalnya suatu sistem pendidikan tertentu baru akan dapat diterapkan seluruhnya, setelah mengalami suatu percobaan.
Lembaga-lembaga kemasyarakatan biasanya juga berumur lama sekali, oleh karena pada umumnya orang menganggapnya sebagai himpunan norma-norma yang berkisar pada kebutuhan pokok masyarakat yang sudah sewajarnya harus dipelihara.
3.      Lembaga kemasyarakatan mempunyai alat-alat perlengkapan yang dipergunakan untuk mencapai tujuan lembaga yang bersangkutan, seperti misalnya bangunan, peralatan mesin-mesin dan sebagainya. Bentuk serta penggunaan alat-alat tersebut biasanya berlainan asntara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya.
4.      Lambang-lambang biasanya juga merupakan ciri yang khas dari lembaga kemasyarakatan.
Lambang-lambang tersebut secara simbolis menggambarkan tujuan dan fungsi lembaga yang bersangkutan. Sebagai contoh, kesatuan-kesatuan Angkatan Bersenjata, masing-masing mempunyai panji-panji; perguruan-perguruan tinggi seperti Universitas, Institut dan lain-lain lagi. Kadang-kadang lambang tersebut berwujud tulisan-tulisan atau slogan-slogan.
5.      Suatu lembaga kemasyarakatan, mempunyai suatu tradisi yang tertulis ataupun yang tak tertulis, yang merumuskan tujuannya, tata-tertib yang berlaku dan lain-lain. Tradisi tersebut, merupakan dasar bagi lembaga itu didalam pekerjaannya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok dari pada masyarakat, dimana lembaga kemasyarakatan tersebut menjadi bagiannya.
Tipe-tipe lembaga sosial masyarakat Kampung Cirendeu RT 10 termasuk lembaga masyarakat yang lahir dari sudut perkembangannya yaitu “Cresive institution” yaitu istitusi yang tidak sengaja tumbuh dari adat istiadat masyarakat. Karena adat istiadat disana semakin berkembang maka dibuat lembaga kemasyarakatan.
E.     Stratifikasi Sosial
Setiap masyarakat senantiasa mempunyai penghargaan tertentu terhadap hal – hal tertentu dalam masyarakat yang bersangkutan. Penghargaan yang lebih tinggi terhadap hal – hal tertentu , akan menempatkan hal tersebut pada kedudukan yang lebih tinggi dan hal lainnya. Kalau suatu masyarakat lebih menghaegai kekayaan material dari pada kehormatan , misalnya,  maka mereka yang lebih banyak mempunyai kekayaan material akan menempati kedudukan yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan fisik  - fisik lain. Gejala tersebut menimbulkan lapisan masyarakat , yang merupakan pembedaan posisi seseorang atau suatu kelompok dan kedudukan berbeda – beda secara vertikal.[6]
Stratifikasi sosial merupakan suatu konsep dalam sosiologi yang melihat bagaimana anggota masyarakat dibedakan berdasarkan status yang dimilikinya. Status yang dimiliki oleh setiap anggota masyarakat ada yang didapat dengan suatu usaha (achievement status) dan ada yang didapat tanpa suatu usaha (ascribed status).
Dari pengertian di atas dan dari penelitian yang  dilakukan oleh kelompok kami di Kampung Cireundeu, mengenai Stratifikasi Sosial di Kampung tersebut, ternyata di Kampung Cireundeu tersebut tidak ditemukannya Stratifikasi Sosial, sumber tersebut menyatakan bahwa di Kampung tsb tidak adanya sistem Stratifikasi sosial , dia menyatakan bahwa disana semua masyarakat dianggap sama, terbukti bahwa di tempat bale – balenya pun atau semacam Aula yang ada di kampung tersebut , tempat para warga berkumpul, tidak memakai kursi , tetapi hanya memakai alas saja , semacam karpet atau tikar , itu dikarenakan semua orang disana dianggap sama , tidak ada perbedaan. Jadi disana tidak terjadi persaingan yan menunjukan kekayaan, Profesi, dan Kedudukan.
Kedudukan yang ada disana hanya tingkatan Sesepuh ( Kepengurusan untuk keseluruhan adat ) , Ais Pangasih dan Pangintren ( kepengurusan pendatang / tamu dari luar yang ingin melihat atau mengunjungi Kampung tersebut). Ketiga kedudukan tersebut dipilih masyarakat dengan cara dilihat orang tersebut berkharisma dan patut disepuhkan di masyarakat itu.
Saking tidak ada perbedaan satu sama lain diantara mereka, bila ada seorang warga tidak mempunyai Rasi atau makanan, warga yang lain ikut membantu kepada warga yang tidak mempunyai makanan tersebut. Selain itu juga, warga disana sangat mengukuhkan tali kekeluargaan , warga disana sudah menganggap satu warga dengan warga lain seperti keluarga , seperti yang telah  dijelaskan di atas. Warga disana juga mengukuhkan sifat bergotong royong , bila ada sarana tempat tinggal atau lingkungan yang rusak , maka semua warga akan bergotong royong memperbaikinnya , semua lapisan masyarakat terutama laki – laki  ikut untuk bergotong royong.
Dimasyarakat Cireundeu juga terdapat masyarakat yang asli dan masyarakat pendatang, dan rata – rata pekerjaan yang digeluti oleh masyarakat disana , ada dua yaitu masyarakat kelompok petani ( dominan ) dan masyarakat kelompok peternak, tetapi juga disana ada masyarakat yang berpofesi sebagai ( PNS ) tetapi hanya sebagian.
F.     Sistem Kekuasaan atau Kewenangan
Pola kepemimpinan, salah satu ciri yang menentukan kepemimpinan di kampung Cireundeu cenderung banyak ditentukan oleh kualitas pribadi dari individu. Disebabkan oleh luasnya kontak tatap muka dan individu lebih banyak saling mengetahui. Misalnya karena kejujuran, kesolehan, sifat pengorbanannya dan pengalamannya.
G.    Masalah Sosial di masyarakat Adat Kampung Cireundeu
Manusia adalah makhluk sosial. Apa yang dimaksud dengan makhluk sosial? Yang dimaksud makhluk sosial adalah manusia membutuhkan manusia lain untuk melanjutkan hidup mereka. Dengan kata lain mereka memiliki keterikatan saling membutuhkan antara manusia satu dengan manusia lainnya.
Manusia memiliki sifat baik dan sifat buruk. Mungkin lingkungan sekitar dapat mempengaruhi sifat kita. Ada beberapa orang menganggap orang kampung atau orang desa dengan orang kota memiliki sifat yang berbeda. Ada yang mengatakan orang desa atau orang kampung memiliki sifat sosial yang tinggi, karena mereka hidup saling berdampingan dan saling sering berkomunikasi antar tetangga. Jadi tali persaudaraan mereka lebih erat dibandingkan dengan masyarakat yang tinggal di kota. Orang kota berkebalikan dengan orang yang tinggal di desa.
Dari segi tempat tinggal orang kota lebih kurang bersahabat dengan masalah sosial. Perumahan elite di kota, kita dapat melihat rumah-rumah besar dengan dinding dan pagar yang menjulang tinggi sehingga tidak dimungkinkan mereka jarang berkomunikasi dengan tetangga nya. Justru ada sebagian masyarakat yang tidak mengenal tetangganya.
 Ini adalah salah satu permasalahan sosial yang ada di lingkungan kota. Tapi disini kita akan membedah masalah soial yang ada di desa atau terkhusus diKampung Cireundeu.
Terdapat masalah sosial yang terjadi di desa atau kampung Cireundeu ini, salah satunya adalah : Rendahnya tingkat pendidikan. Pendidikan dikampung Cireundeu terbilang sangat rendah. Dari beberapa warga di sana hanya beberapa orang yang lulus sampai SMA dan Perguruan tinggi. Selebihnya SD dan SMP bahkan  ada yang tidak mengenyam pendidikan sekalipun. Ironis memang, keadaan alam kampung yang begitu hijau, indah, dan sejuk dibalik itu semua warganya begitu kurang mengenyam pendidikan. Tentunya ini adalah PR  bagi Pemerintah supaya masyarakatnya terjamin akan kebutuhan pendidikan.
H.    Perubahan Sosial di masyarakat Adat Kampung Cireundeu
Setiap masyarakat manusia selama hidup pasti mengalami perubahan-perubahan. Perubahan mana dapat berupa perubahan yang tidak menarik dalam arti kurang mencolok. Ada pula perubahan-perubahan yang lambat sekali,akan tetapi ada juga yang berjalan dengan cepat. Perubahan-perubahan masyarakat dapat mengenai nilai-nilai sosial, norma-norma sosial, pola-pola perilaku organisasi, susunan lembaga kemasyarakatan, lapisan-lapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial dan lain sebagainya.
Disamping itu diperlukan pula perubahan-perubahan masyarakat yang dapat menetralisasi faktor-faktor kemasyarakatan yang mengalami perkembangan. Hal itu dapat memperkuat atau menciptakan fsktor-faktor yang dapat mendukung pembangunan tersebut. Perubahan-perubahan di luar bidang ekonomi itu tidak dapat dihindarkan karena setiap perubahan dalam suatu lembaga kemasyarakatan akan mengakibatkan pula perubahan-perubahan di dalam lembaga-lembaga kemasyarakatan tersebut selalu terkait proses saling mempengaruhi secara timbal-balik.
Perubahan-perubahan yang terjadi pada masyarakat dunia dewasa ini merupakan gejala yang normal. Pengaruhnya bisa menjalar dengan cepat ke bagian-bagian dunia lain terkait adanya komunikasi modern. Penemuan-penemuan baru dibidang teknologi yang terjadi di suatu tempat, dengan cepat dapat diketahui oleh masyarakat lain yang berada jauh dari tempat tersebut.
Secara fisik Cireundeu memang kampung biasa, namun karena ketatnya menjalankan tradisi karuhun kampung ini akhirnya di kukuhkan secara de facto sebagai kampung adat. Kepercayaan ini juga dikenal sebagai cara karuhun urang, agama Sunda wiwitan, ajaran madrais atau agama cigugur. Mereka percaya pada Tuhan, dan teguh menjaga kepercayaan serta menjaga jatidiri Sunda mereka agar tidak berubah.
Falsafah hidup masyarakat Cireundeu belum banyak berubah sejak puluhan tahun lalu dan mereka masih memegang ajaran moral tentang bagaimana membawa diri dalam hidup ini. Ritual 1 sura yang rutun di gelar sejak kala, merupakan satu simbol dari falsafah tersebut. Suraan demikian warga Cireundeu menyebutnya memiliki makna yang dalam. Bahwa manusia itu harus memahami bila ia hidup berdampingan dengan makhluk lainnya baik dengan lingkungan, tumbuhan, hewan, angin, laut, gunung, tanah, air, api, kayu, dan langit. Selain itu masyarakat Cireundeu menghormati leluhur mereka dengan tidak memakan nasi melainkan singkong.
Pangeran Madrais pernah berkata jika orang Cireundeu tidak mau terkena bencana maka pantang makan nasi. Sekarang terbukti, dimana orang lain bingung memikirkan harga beras yang makin naik, warga sini adem ayem saja karena singkongnya pun hasil kebun sendiri. Dengan itu apa yang terjadi di suatu kampung adat seperti di cireundeu, setelah melihat adanya perubahan di dalam nilai-nilai sosialnya masyarakat disana masih sangat kental dengan kebiasaan-kebiasaan turun-temurunnya yaitu dengan ketahanan pangannya,meskipun mereka saat ini sudah terpengaruh oleh budaya-budaya dari luar mereka tetap tidak meninggalkan nilai budayanya sendiri yang sangat kuat hingga saat ini, dibanding dengan cireundeu dulu masyarakatnya sama sekali tidak terpengaruh oleh budaya dari luar sehingga nilai-nilai budayanya lebih kuat, begitupun juga dengan norma-norma yang ada di kampung tersebut  cireundeu dulu masyarakatnya sangat mematuhi aturan-aturan yang ada disana tidak ada yang bertentangan dengan norrna-norma yang ada,  
Perubahan Sosial yang terjadi di kampung Cireundeu dari tahun 1918 hingga saat ini, dulu penduduk di kampung Cireundeu masih relatif sedikit dan lahan pun masih luas, penduduk Cireundeu dulu pernah mencoba menanam padi, namun lahan disana tidak cocok untuk ditanami padi, lebih cocok untuk ditanami singkong. Jadi sampai sekarang masyarakat Cireundeu sudah terbiasa makan nasi singkong atau sering disebut rasi. Hal tersebut terjadi pada tahun 1918-1924 karena pada saat itu masyarakat disana masih memilih antara beras padi dan beras singkong, namun setelah masyarakat disana melihat perekonomian Negara yang dikuasai oleh penjajah,  merekapun lebih memilih singkong dari pada beras padi. Mungkin cireundeu dulu bisa disebut cireundeu yang kurung batok dimana masyarakat asli cireundeu kehidupannya hanya  dilingkungan itu saja, selain itu masyarakat kampung Cireundeu dulu cenderung tertutup terhadap masyarakat asing (pendatang), dulu bila ada tamu dari luar masih malu-malu bahkan langsung lari kerumah. Sedangkan sekarang masyarakat kampung Cireundeu sudah mulai terbuka dan anak-anak pun sudah mulai bersekolah. Warga kampung Cireundeu juga sudah mulai terbuka dengan kebudayaan lain dengan cara mengundang masyarakat dari luar dan menerima teknologi-teknologi modern dibanding masyarakat dulu, kampung cireundeu tidak banyak yang memakai alat-alat elektronik.
Perubahan dalam bidang ekonomi dikampung Cireundeu dulu masyarakatnya bermatapencaharian dari berkebun dan berternak, yang penghasilannya hanya diperoleh dari berkebun dan berternak saja. Sedangkan sekarang masyarakatnya sudah ada yang bekerja sebagai buruh pabrik, namun itu juga hanya pemuda-pemudanya saja. Sedangkan yang sudah tua masih berpenghasilan dari berkebun. Selain itu juga sekarang hasil dari bertani itu diolah lagi menjadi beberapa makanan ringan seperti, eggrol yang terbuat dari singkong, kicimpring, ranginang, dan kue-kue lainnya, bahkan masyarakat disana membuat beras yang terbuat dari singkong atau sering disebut oleh masyarakat sana RASI. Banyak para pendatang yang membeli makanan khas kampung Cireundeu  baik itu yang wisata kesana maupun para mahasiswa yang sedang penelitian. Namun mereka tidak menjual ke luar daerah, hamya menjualnya didalam kampung Cireundeu saja. Jadi apabila ingin atau berminat untuk membeli dan mencoba makanan khas kampung Cireundeu mesti langsung ke tempat pembuatannya yaitu dikampung Cireundeu.
Selain itu juga kampung Cireundeu mengalami perubahan dalam hal bangunan dimana bangunannya dulu dindingnya masih terbuat dari anyaman bambu (bilik) dan atapnya dari hateup (daun kelapa), dibanding sekarang bangunannya sudah modern yang berdindingkan tembok dan beratap genteng. Namun kata kepala adat disana seharusnya tidak dirubah dengan tembok, karena dengan mengubahnya berarti menghilangkan adat ciri khas bangunan kampung Cireundeu dulu yang seharusnya dilestarikan. 
BAB III
PENUTUP

B.     KESIMPULAN
Kampung Cireundeu adalah sebuah bukit kecil yang dihuni oleh 50 KK atau 800 jiwa yang memiliki tradisi berbeda. Sebagian penduduk Cireundeu, sejak ratusan tahun silam (sejak tahun 1918), tidak pernah menggunakan beras lagi sebagai bahan makanan pokok. Masyarakat Kampung Cireundeu merupakan suatu komunitas adat kesundaan yang mampu memelihara, melestarikan adat istiadat secara turun temurun dan tidak terpengaruhi oleh budaya dari luar. Situasi kehidupan penuh kedamaian dan kerukunan “silih asah,  silih asih, silih asuh, tata, titi, duduga peryoga“. Mereka memegang teguh pepatah Karuhun Cireundeu, yaitu: “Teu nanaon teu boga huma ge asal boga pare. Teu nanaon teu boga pare ge asal boga beas  Teu nanaon teu boga bias ge asal bisa ngejo Teu nanaon teu bisa ngejo ge asal bisa nyatu. Teu nanaon teu bisa nyatu ge asal bisa hirup.”
Masyarakat Cireundeu menyebut diri mereka penganut Sunda Wiwitan, Sunda Wiwitan sendiri mengandung arti Sunda yang paling awal dan bagi mereka agama bukan sarana penyembahan namun sarana aplikasi dalam kehidupan, karena itu mereka memegang teguh tradisi dan jarang sekali ditemukan situs-situs penyembahan. Pangeran Haji Ali Madrais yang diakui sebagai nenek moyang masyarakat Cireundeu mungkin mendapat gelar Haji bukan karena dia benar-benar pergi memenuhi rukun Islam tetapi mendapat sebutan Haji karena dianggap sebagai pemimpin atau imam.
Meskipun kampung Cireundeu dinobatkan sebagai salah satu kampung adat yang ada di Jawa Barat, tetapi  mereka tidak pernah menutup diri dari perkembangan teknologi. Bisa di bilang kampung Cireundeu adalah Kampung Adat yang fleksibel. Dalam batasan-batasan tertentu mereka  secara terbuka menerima teknologi di tengah-tengah kehidupannya, tanpa melupakan adat para leluhurnya. Bagi mereka menjaga apa yang telah diwariskan oleh para leluhurnya, bukan berarti tidak boleh bergaul dengan yang lainnya. Apalagi sampai menutup diri dari perkembangan Zaman. Sehingga sampai pada saat ini gaya hidup masyarakat Kampung Cireundeu bisa dikategorikan pada gaya hidup yang modern.
C.          SARAN
Mengenal pola kehidupan masyarakat adalah aplikasi dari sosiologi. Tapi bukankah kita sejak lahir telah mengenal kehidupan sosial berawal dari interaksi ayah, ibu, dan anak. Ya, sosiologi secara tak sadar telah diketahui manusia sejak lahir ke dunia, tentu saja pernyataan ini didukung Soerjono Soekanto. Kegiatan PPM (Praktek Profesi Mahasiswa) Jurusan Sosiologi adalah bentuk mengenal kehidupan masyarakat lokal dengan gaya mahasiswa (baca: ilmiah) secara real time.  Kegiatan ini merupakan pengejawantahan dari  teori-teori sosial yang menjadi hidangan utama sosiologi.
Selama penelitian kami tidak begitu banyak menemukan kendala.  Oleh karena itu saran kami terhadap panelitian berikutnya, peneliti harus cekatan dalam mencari informasi tentang objek yang akan diteliti. Peneliti harus bisa berbaur langsung dengan masyarakat sekitar agar terjalin keakraban antara peneliti dengan warga.
Dalam hal ini kami sarankan juga, peneliti jangan terlalu menonjolkan bahwa kita adalah seorang peneliti tapi haruslah berangkat dari kesadaran bahwa kita juga masyarakat biasa.      


DAFTAR PUSTAKA
Hadisubroto. S., Pokok-pokok Pengumpulan Data, Analisis Data, Penafsiran Data, dan Rekomendasi Data Penelitian Kualitatif, Bandung:PPs IKIP Bandung,1989.
Nasution,S.,Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif,Bandung,Tarsito.1992
Soekanto, Soerjono. 1981.Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat.
Jakarta : CV. Rajawali.
Soekanto, Soerjono. 1987. Sosiologi Suatu Pengantar. Rajawali Pers : Jakarta
Beteille, A. 1970. Social Inequality. Penguin Education. California. 
Douglas, J.D. 1981. Introduction to Sociology ; Situations and Structures. The Free Press. New York.
Kornblum, W. 1988. Sociology in Changing World. Holt, Rinchart and Winston. New York. 
Kuntowijoyo. 2002. Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris Madura. Mata Bangsa. Jogjakarta.
Linton,  R. 1967. “Status and Role” dalam Lewis A. Coser dan Bernard Rosenberg. Sociological Theory ; A Book of Reading. The Macmillan. New York.
Merton, Robert K. 1964. Social Theory and Social Structure. The Free Press. New York.
Sarman, M. 1994. Perubahan Status Sosial dan Moral Ekonomi Petani. Prisma No. 7.
Sosrodihardjo, S. 1972. Perubahan Struktur Masyarakat di Djawa; Suatu Analisa. Karya. Jogjakarta.
Wertheim, W.F. 1999. Masyarakat Indonesia dalam Transisi; Studi Perubahan Sosial. Tiara Wacana. Jogjakarta.








[1] lihat hlm. 61. Soerjono Soekanto. 2004.”Sosiologi Suatu Pengantar”.PT Grafindo Persada:Jakarta.
[2] lihat hlm. 114-115. Soerjono Soekanto. 2004.”Sosiologi Suatu Pengantar”.PT Grafindo Persada:Jakarta.
[3] lihat hlm. 115. Soerjono Soekanto. 2004.”Sosiologi Suatu Pengantar”.PT Grafindo Persada:Jakarta.
[4] lihat hlm. 54. Roucek,Joseph S dan Roland L. Warren..1984.”Pengantar Sosiologi.PT Bina Aksara
[5] lihat hlm. 73. Soerjono Soekanto. 2004.”Sosiologi Suatu Pengantar”.PT Grafindo Persada:Jakarta.
[6] Soejono Soekamto. Sosiologi Suatu pengantar.Hlm: 251

Tidak ada komentar:

Posting Komentar